Diantara regulasi yang paling menonjol adalah Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 8 Tahun 2017 Tentang Kontrak Bagi Hasil Hulu Migas dengan skema gross split. Permen ini diketahui tidak berumur panjang dan terpasa direvsi menjadi Permen ESDM No 52 Tahun 2017 karena tidak mampu ‘merobek’ dompet investor untuk berinvestasi, Wilayah Kerja (WK) migas yang ditawarpun tidak ada yang laku.

“Untuk prestasi (Jonan) masih relatif saja seperti Menteri ESDM sebelumnya. Indikator cadangan dan produksi migas juga masih relatif stagnan,” Ujar Komaidi.

Kemudian ditinjau dari aspek kelistrikan, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengapresiasi upaya Jonan mendorong listrik desa, serta mengupayakan keterjangkauan harga. Namun Fabby juga memberikan catatan negatif kepada Jonan terkait penerbitan regulasi, setidaknya ada beberapa regulasi kelistrikan yang dinilai malah menghambat investasi.

“Beberapa catatan negatif Jonan menyangkut cara penyusunan regulasi yang terkesan terburu-buru, tanpa kajian matang serta kurang medengar pandangan pelaku usaha. Misalnya Permen ESDM No. 10/2017 dan 12/2017 yang kemudian dirubah jadi
Permen ESDM No 49/2017 dan 50/2017. Permen ini dianggap bias terhadap kepentingan PLN tapi justru menciptakan ketidakpastian bagi pengembangan energi terbarukan sesuai target dalam PP 79/2014 dan Perpres 22/2017. Walaupun sesuai klaim Jonan, ada 700 MW pembangkit listrik ET yang melakukan kontrak PPA dengan PLN, jumlah ini tidak berarti banyak saat ini. Perlu dicermati, berapa proyek yang nanti bisa financial closing dan COD,” kritik Fabby.

Kemudian tambah Fabby; tidak ada sikap tegas Jonan terhadap proyek 35 ribu MW. Menurutnya, dalam kondisi perlemahan ekosnomi saat ini, perlu adanya penyesuian yang realistis, namun itu belum dilakukan Jonan.

Adapun selanjutnya aspek Mineral dan Batubara, perkara dengan PT Freeport Indonesia (PT FI) menjadi catatan utama oleh Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi & Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bhaktiar.

Sejauh ini, hingga satu tahun masa jabatannya berlalu, Jonan belum mampu menyelesaikan perundingan dengan perusahaan asal Amerika Serikat (AS) itu. Bahkan Jonan terpaksa memberi perpanjangan Izin Pertambangan Khusus (IUPK) selama 3 bulan lagi. Sudahlah ia bersikap IUPK yang dikeluarkan untuk sementara, lalu diperpanjang pula.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka