Jakarta, Aktual.com — Asosiasi nirlaba pemangku kepentingan industri minyak kelapa sawit Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) menilai standar tunggal sawit berkelanjutan yang diinisiasi Indonesia dan Malaysia tidak mudah dilakukan.

Edi Suhardi, Vice President Board of Governor RSPO yang mewakili pekebun sawit di Indonesia, menilai sertifikasi standar minyak kelapa sawit regional untuk dua negara itu sulit dilakukan dari segi harmonisasi hukum.

“Standar bisnis industri itu mudah, tapi kalau bicara tentang mengsinkronkan hukum, kan tidak bisa,” katanya di sela Pertemuan RSPO ke 13 di Kuala Lumpur, Rabu (18/11).

Edi mencontohkan, sinkronisasi dari aturan hukum sulit dilakukan lantaran kedua negara memiliki aturan yang berbeda.

“Contohnya, Indonesia mungkin bisa lebih transparan untuk serahkan peta elektronik. Tapi kalau Malaysia kan dilindungi undang-undang kerahasiaan,” katanya.

Indonesia dan Malaysia sepakat membentuk Dewan Negara Produsen Minyak Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC) serta menyusun standar tunggal sawit berkelanjutan.

Kesepakatan itu merupakan tindak lanjut pertemuan di Istana Bogor, 11 Oktober lalu antara Presiden Jokowi dan PM Najib Razak guna menghadapi hambatan di sektor di mana kedua negara memegang 85 persen pasar sawit dunia.

Saat ini, kedua negara sedang membentuk satuan tugas dalam menyiapkan harmonisasi standar industri dari kedua negara untuk diterapkan secara global.

Hal tersebut bertujuan untuk mensejahterakan para petani kelapa sawit kecil baik di Indonesia maupun Malaysia.

“Sertifikat regional ini bisa bekerja atau tidak, tergantung pemerintahnya,” pungkas Edi.

Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli bertemu dengan delegasi Malaysia di Jakarta untuk merumuskan teknis pembentukan CPOPC dengan memperhatikan aspek kelegalan hukum.

Selain itu, kedua negara berencana untuk membangun kawasan industri khusus hijau (green economic zone) di mana di situ akan diproses produk turunan CPO.

“Langkah ini tentu untuk dorong ekonomi hijau, produksi hijau dan meningkatkan nilai tambah CPO,” kata Rizal.

Nantinya di kawasan tersebut akan diproduksi berbagai produk turunan seperti oleokimia, “oleofood” dan “biofuel second generation” di mana bahan bakar nabati nantinya bisa dicampur dengan premium, serta bahan bakar pesawat jet atau “jet fuel”.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan