Tidak sampai di situ, meski polemik mengenai Gaji Dewan Pengarah BPIP yang fantastis kian tenang, persoalan lain pun muncul dengan mundurnya Kepala BPIP Yudi Latif dari jabatannya.

Pria yang merupakan inisiator dengan hak keuangan mencapai Rp76.500.000 itu justru hengkang di tengah polemik tersebut .

Melalui Medsos Facebooknya itu, Yudi Latif resmi mengajukan surat pengunduran diri sebagai Kepala Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP). Surat itu dikirim tertanggal 7 Juni 2018, namun baru diterima Presiden Joko Widodo pada Jumat 8 Juni 2018 pagi ini.

Tidak jauh beda seperti yang diutarakan di akun Facebook pribadinya, salah satu alasan yang membuat dirinya mundur adalah memposisikan BPIP setara dengan kementerian, yang sebelumnya hanya berupa unit kerja presiden (UKP).

Berikut tulisan yang diunggah Yudi Latif di akun Facebook-nya pada Kamis dini hari.

TERIMA KASIH, MOHON PAMIT
Salam Pancasila!
Saudara-saudaraku yang budiman,
Hari kemarin (Kamis, 07 Juni 2018), tepat satu tahun saya, Yudi Latif, memangku jabatan sebagai Kepala (Pelaksana) Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP)–yang sejak Februari 2018 bertransformasi menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Selama setahun itu, terlalu sedikit yang telah kami kerjakan untuk persoalan yang teramat besar.

Lembaga penyemai Pancasila ini baru menggunakan anggaran negara untuk program sekitar 7 milyar rupiah. Mengapa? Kami (Pengarah dan Kepala Pelaksana) dilantik pada 7 Juni 2017. Tak lama kemudian memasuki masa libur lebaran, dan baru memiliki 3 orang Deputi pada bulan Juli. Tahun anggaran telah berjalan, dan sumber pembiayaan harus diajukan lewat APBNP, dengan menginduk pada Sekretaris Kabinet. Anggaran baru turun pada awal November, dan pada 15 Desember penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga harus berakhir. Praktis, kami hanya punya waktu satu bulan untuk menggunakan anggaran negara. Adapun anggaran untuk tahun 2018, sampai saat ini belum turun.

Selain itu, kewenangan UKP-PIP berdasarkan Perpres juga hampir tidak memiliki kewenangan eksekusi secara langsung. Apalagi dengan anggaran yang menginduk pada salah satu kedeputian di Seskab, kinerja UKP-PIP dinilai dari rekomendasi yang diberikan kepada Presiden.

Kemampuan mengoptimalkan kreasi tenaga pun terbatas. Setelah setahun bekerja, seluruh personil di jajaran Dewan Pengarah dan Pelaksana belum mendapatkan hak keuangan. Mengapa? Karena menunggu Perpres tentang hak keuangan ditandatangani Presiden. Perpres tentang hal ini tak kunjung keluar, barangkali karena adanya pikiran yang berkembang di rapat-rapat Dewan Pengarah, untuk mengubah bentuk kelembagaan dari Unit Kerja Presiden menjadi Badan tersendiri. Mengingat keterbatasan kewenangan lembaga yang telah disebutkan. Dan ternyata, perubahan dari UKP-PIP menjadi BPIP memakan waktu yang lama, karena berbagai prosedur yang harus dilalui.

Dengan mengatakan kendala-kendala tersebut tidaklah berarti tidak ada yang kami kerjakan. Terima kasih besar pada keswadayaan inisiatif masyarakat dan lembaga pemerintahan. Setiap hari ada saja kegiatan kami di seluruh pelosok tanan air; bahkan seringkali kami tak mengenal waktu libur. Kepadatan kegiatan ini dikerjakan dengan menjalin kerjasama dengan inisiatif komunitas masyarakat dan Kementerian/Lembaga. Suasana seperti itulah yang meyakinkan kami bahwa rasa tanggung jawab untuk secara gotong-royong menghidupkan Pancasila merupakan kekuatan positif yang membangkitkan optimisme.

Eksistensi UKP-PIP/BPIP berhasil bukan karena banyaknya klaim kegiatan yang dilakukan dengan bendera UKP-PIP/BPIP. Melainkan, ketika inisiatif program pembudayaan Pancasila oleh lembaga kenegaraan dan masyarakat bermekaran, meski tanpa keterlibatan dan bantuan UKP-PIP/BPIP.

Untuk itu, dari lubuk hati yang terdalam, kami ingin mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya atas partisipasi semua pihak dalam mengarusutamakan kembali Pancasila dalam kehidupan publik.

Selanjutnya, harus dikatakan bahwa transformasi dari UKP-PIP menjadi BPIP membawa perubahan besar pada struktur organisasi, peran dan fungsi lembaga. Juga dalam relasi antara Dewan Pengarah dan Pelaksana. Semuanya itu memerlukan tipe kecakapan, kepribadian serta perhatian dan tanggung jawab yang berbeda.

Saya merasa, perlu ada pemimpin-pemimpin baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan. Harus ada daun-daun yang gugur demi memberi kesempatan bagi tunas-tunas baru untuk bangkit. Sekarang, manakala proses transisi kelembagaan menuju BPIP hampir tuntas, adalah momen yang tepat untuk penyegaran kepemimpinan.

Pada titik ini, dari kesadaran penuh harus saya akui bahwa segala kekurangan dan kesalahan lembaga ini selama setahun lamanya merupakan tanggung jawab saya selaku Kepala Pelaksana. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati saya ingin menghaturkan permohonan maaf pada seluruh rakyat Indonesia.

Pada segenap tim UKP-PIP/BPIP yang dengan gigih, bahu-membahu mengibarkan panji Pancasila, meski dengan segala keterbatasan dan kesulitan yang ada, apresiasi dan rasa terima kasih sepantasnya saya haturkan.

Saya mohon pamit. “Segala yang lenyap adalah kebutuhan bagi yang lain, (itu sebabnya kita bergiliran lahir dan mati). Seperti gelembung-gelembung di laut berasal, mereka muncul, kemudian pecah, dan kepada laut mereka kembali” (Alexander Pope, An Essay on Man).

Salam takzim,
Yudi Latif

Hal hasil, sikap Yudi pun mendapat banyak perhatian dan menyisakan sejumlah pertanyaan ikhwal sikapnya tersebut. Diantaranya, apakah terkait dengan polemik hak keuangan (gaji) yang justru menjadi polemik di publik ketimbang progres dari kinerja lembaga tersebut, atau apa?. Kesemua terkaan dari bersifat politis hingga humanis tidak dapat ditampik.

Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan misalnya. Ia mempertanyakan mundurnya Yudi Latif dari BPIP di tengah berkembangnya polemik soal gaji anggota badan tersebut.

“Ini ada apa di internal BPIP. Ini memberi kesan, selama ini baik-baik saja, tapi ternyata ada permasalahan internal,” kata Taufik kepada wartawan, Jumat (8/6).

Terkait hal itu, Taufik meminta Presiden Joko Widodo yang mengangkat dan melantik Yudi Latif agar memberikan penjelasan kepada publik mengenai kemunduran Yudi. Menurut dia, kehadiran BPIP yang diharapkan menjadi harapan baru bagi masyarakat, malah terus-terusan menjadi polemik.

“Kita berharap BPIP tampil dan menjawab harapan masyarakat dalam kaitan membumikan Pancasila selain membantu Presiden dalam merumuskan arah pembinaan ideologi Pancasila,” ujarnya. Apalagi, lanjutnya, gejolak itu terjadi saat masifnya paham radikalisme.

Pun demikian, ada juga yang mendukung sikap Yudi Latif dan meminta agar pejabat negeri ini dapat mengikuti jejak yang bersangkutan sebagai pemangku kepentingan yang bertanggungjawab dan bahkan dinilai sangat Pancasilais.

“BPIP itu memang sejak awal pembentukannya problematis, dipaksakan dan sangat politis,” kata Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak di Jakarta, Jumat (8/6).

Dahnil menilai, sikap Yudi Latif sangat tepat karena jarang pejabat negeri saat ini bila menemukan ketidakberesan, dan merasa tidak mampu menyelesaikan kemudian memutuskan mundur dari jabatannya.

Jadi saya menilai Pak Yudi Latif memiliki sikap yang Pancasilais, karena dia merasa tidak sanggup mungkin menunaikan tanggungjawabnya dan akhirnya memilih mundur dari jabatannya,” ucap Dahnil.

Politikus PDI Perjuangan Arteria Dahlan mengungkapkan, partainya menghormati keputusan Yudi Latif tersebut. Meskipun, diakui dia, sangat kecewa dengan sikap yang diambil tersebut.

“Terlepas dari hiruk pikuk mundurnya Pak Yudi, saya pribadi dan kami semua (PDIP) menghormati keputusan Pak Yudi Latif,” kata Arteria, di Jakarta, Sabtu (9/6).

Menurut dia, Yudi Latif adalah tokoh muda yang sudah sangat matang dalam mencermati kondisi obyektif yang ada. Yudi, kata dia, memutuskan mengundurkan diri sudah disertai dengan pertimbangan yang mendalam.

 

[pdfjs-viewer url=”http%3A%2F%2Fwww.aktual.com%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F06%2FFanzine-150618_Setelah-Yudi-Latif-Mundur-BPIP-Kehilangan-Pancasilais.pdf” viewer_width=100% viewer_height=1360px fullscreen=true download=true print=true]

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang