Ketika rakyat masih berjuang menahan harga kebutuhan pokok yang kian mencekik, gelombang PHK yang terus menerpa, kabar dari Senayan datang seperti tamparan. DPR menyetujui tunjangan rumah anggota dewan hingga Rp50 juta per bulan. Wakil Ketua Komisi III DPR, Adies Kadir, bahkan menimpali dengan kalimat yang membakar emosi. Dia menyebut bahwa nilai rupiah yang dianggarkan masih kurang.
“Itu pun sebenarnya masih nombok, karena kita harus membiayai tamu dan kegiatan lain,” kata politikus Golkar tersebut.
Tak berhenti di situ, anggota Komisi VI DPR, Deddy Sitorus, ikut menambah bara. Ia menyebut publik salah memahami fasilitas tersebut.
“Ini bukan soal kemewahan, tetapi konsekuensi pekerjaan. Rakyat harus paham konteksnya,” ujarnya.
Bagi masyarakat yang pendapatannya jauh dari angka itu, ucapan ini terdengar seperti olok-olok.
Kontroversi semakin ramai ketika publik figur Nafa Urbach turut melontarkan komentar yang membela DPR. Ia menyebut rakyat sebaiknya tidak iri karena anggota dewan punya tanggung jawab besar.
Pernyataan itu sontak memantik kritik keras di jagat maya, dianggap menutup mata terhadap kesenjangan sosial yang nyata di hadapan masyarakat.
Eko Patrio, anggota DPR sekaligus selebritas, juga tak luput dari sorotan. Ia berkilah bahwa tunjangan itu wajar karena banyak anggota dewan yang harus menjaga citra dan pergaulan politik. Komentar itu makin dianggap publik sebagai tanda jarak lebar antara wakil rakyat dan realitas kehidupan masyarakat sehari-hari.
Tak ketinggalan, Uya Kuya ikut menuai sorotan setelah menyatakan bahwa tunjangan besar bukan masalah, menurutnya, “orang-orang hebat di Senayan perlu dukungan penuh untuk bekerja.”
Ucapannya makin menguatkan kesan bahwa elit politik dan lingkaran pendukungnya hidup dalam gelembung yang terputus dari realitas rakyat.
Maka amarah pun turun ke jalan. Ribuan mahasiswa, buruh, dan pengemudi ojek daring mengepung DPR/MPR. “Bubarkan DPR!” teriak massa, diiringi kepalan tangan yang menantang panasnya aspal ibu kota.
Namun demonstrasi yang semula riuh penuh yel-yel berubah mencekam. Aparat menembakkan gas air mata, menyemprotkan water cannon, hingga akhirnya kendaraan taktis Brimob menerobos kerumunan.
Di tengah kepanikan itu, seorang driver ojol, Affan Kurniawan (21), remuk dilindas rantis. Nafas terakhirnya pecah di jalan yang selama ini menjadi sumber nafkahnya.
Ironi itu menyebar ke kota-kota lain. Bandung, Makassar, Medan. Dari gedung parlemen yang gemerlap dengan tunjangan mewah hingga jalanan penuh gas air mata.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto






















