Jakarta, Aktual.com – Sosiolog Universitas Indonesia Imam Prasodjo mengecam keras pernyataan taipan Sukanto Tanoto. Dengan menyebut Indonesia hanya ‘Bapak Angkat” (adopted father), sedangkan China adalah ‘Ayah Kandung’ (natural father), saat berbicara di televisi China.

Pernyataan semacam itu, bentuk meremehkan martabat Indonesia. Sikap yang menyedihkan. Mengingat Sukanto lahir dan besar di Indonesia, juga mencari nafkah hingga kaya pun di Indonesia, bukan di China. “Perutnya telah buncit dan menjadi kaya raya karena bisnis di Indonesia,” demikian tulis Imam di akun facebook-nya, beberapa waktu lalu.

Sambung Imam, “Apakah Indonesia belum cukup memberikan kekayaan begitu melimpah padanya?” Mengingat Sukanto punya beragam ladang bisnis di Indonesia. Seperti pemasok peralatan dan kebutuhan Pertamina, menguasai bisnis hutan, perkebunan sawit hingga industri pengolahan kayu. “Rupanya itu tak menjadikan Indonesia sebagai bagian penuh dari hatinya,” ujar Imam.

Selain melunturkan rasa nasionalisme, Imam juga khawatir pernyataan Sukanto bisa berdampak buruk bagi warga keturunan Tionghoa yang telah menyatu darah dagingnya 100 persen dan mengharumkan nama Indonesia. Imam menyebut Rudy Hartono, Ivana Lie, dan Liliyana Natsir. “Dan tentu tak terbilang banyaknya warga keturunan Tionghoa dengan beragam profesi yang hatinya menyatu padu dalam rasa keindonesiaan,” sambung Imam.

Meski sama-sama memiliki darah keturunan, hal tersebut tak melunturkan rasa nasionalisme untuk Indonesia sebagai Tanah Air mereka. Sedangkan Sukanto, malah dengan enteng mengatakan ‘Blood is thicker than water’ (darah lebih pekat dari air). “Sangat ironis rasa kebangsaan itu tak dimiliki Sukanto,” tutur Imam.

Sembari dia mengingatkan warga Indonesia untuk tidak mudah terjebak pada generelasi yang berujung pada sikap rasis dengan kebencian lantaran ulah segelintir orang seperti Sukanto. “Yang membuat orang tak berdosa menjadi sasaran kebencian,” ujar dia.

Loyalitas kebangsaan, ujar Imam harus dipupuk dengan ukuran apa yang ada dalam hati, yang diucapkan oleh mulut, dan diaktualisasikan dalam tindakan. “Sebab cinta tanah air, loyalitas kebangsaan, dapat luntur dan hilang pada siapa saja,” kata dia (Soemitro)

Artikel ini ditulis oleh: