Spirit Reformasi Terbelenggu?
Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah mengakui jika spirit reformasi telah memudar dalam beberapa tahun pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Ia menilai sistem demokrasi yang tercipta pasca 1998 dapat dikatakan sangat baik, tetapi hal ini disebutnya tidak akan memperoleh hasil maksimal jika tidak dibarengi oleh kinerja yang optimal.
“Yang sudah (baik) sistemnya, yang belum (baik) kinerjanya,” kata Fahri di Jakarta, Minggu (20/5) lalu.
Kepada awak media, Fahri menyebut adanya stagnasi pemikiran yang luar biasa di semua kalangan sehingga menular kepada para pemegang kendali kebijakan. Akibatnya, jelas Fahri, kapasitas pemerintah dalam mengelola demokrasi pun bermasalah.
“Ada stagnanasi pemikiran ekonomi dan politik, sehingga politik kita saling mengunci. Stagnan pemikiran ekonomi menyebabkan ekonomi kita tidak tumbuh, tidak berkembang,” terangnya.
Pun demikian dengan fitur-fitur demokrasi lainnya, seperti hukum misalnya, yang dikatakan Fahri hanya dipakai untuk menakuti-nakuti kelompok tertentu. Ketidakpastian hukum ini jika dikombinasikan dengan masalah ekonomi, disebut Fahri membuat orang-orang tidak berani untuk berinvestasi di tanah air.
Ia pun menganalogikan sistem demokrasi di Indonesia sebagai sebuah mobil dan pemerintah yang menjalankan sebagai supir. Ibarat mobil, sistem demokrasi Indonesia adalah mobil canggih namun tidak dikendarai dengan baik oleh pemerintah yang berperan supir.
“Kendaraannya mantap, (tapi) sopirnya jelek. Canggih alatnya (tapi) operatornya bodoh, kan kira-kira begitu,” tegas Ketua Umum pertama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) ini.
Ia menilai, pemerintah saat ini sama sekali tidak memahami fitur-fitur dan kompleksitas demokrasi dengan baik. Hal ini pun berimbas pada tindakan-tindakan aparatur negara yang justru memangkas esensi dari demokrasi itu sendiri.
Ketika ditanya kasus kriminalisasi Salamudding Daeng dan razia kaus #2019GantiPresiden, Fahri pun mengakui jika dua kasus itu merupakan contoh yang menggambarkan betapa bodohnya pemerintah dalam memahami demokrasi.
Selain itu, ia juga menyebut ‘sertifikasi’ 200 ulama yang telah diakui oleh pemerintah sebagai contoh lain.
“Jangan negara mengontrol pikiran orang, kebebasan berserikat dan berkumpul. Menyampaikan pendapat secara lisan dan tulisan jangan dikontrol, jangan distandar oleh negara. Itu kebebasan rakyat,” jelas Fahri.
“Itu saya bilang, demokrasi rumit tapi pemerintah enggak paham mengelola demokrasi itu. Sehingga perbedaan pendapat itu jadi ancaman,” sambungnya.
Sementara itu di tempat terpisah, Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha), Azmi Syahputra menilai bahwa reformasi tidaklah gagal, melainkan dilukai oleh penyelenggara negara yang bahkan dapat merebut dan mengambil hak orang rakyat.
Kondisi ini, jelas Azmi, mengakibatkan adanya benturan kepentingan ekonomi dan poiltik dalam memperebutkan berbagai hal, mulai dari kekuasaan, sumber daya energi atau alam dan menyangkut produksi yang dijadikan aset bisnis atas nama oknum penyelenggara negara.
“Kekayaan bangsa ini dijadikan ‘bancakan’ bagi oknum penyelenggara negara,” ucap Azmi.
Benturan dan gesekan tersebut pada akhirnya membuat reformasi terkoyak dan semakin menjauhkan negara untuk mencapai tujuannya sebagaimana disebutkan dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 (UUD ’45).
Kegaduhan politik, maraknya politik uang dan banyaknya pejabat yang ditangkap tangan disebut Azmi sebagai sedikit tanda dari terkoyaknya reformasi. Di sisi lain, Azmi menganggap tongkat estafer regenerasi reformasi belum melahirkan pemimpin yang konsisten, amanah, berpikir panjang dan bertindak sebagaimana negarawan.
“Sayangnya oknum penyelenggara negara ini adalah orang-orang yang berkuasa, punya kewenangan sehingga begitu orang-orang ini tidak menjalankan amanah sumpah jabatannya sangat menciderai rasa keadilan masyrakat, maka semakin bertambah lukalah perjalanan reformasi tersebut, yang akhirnya semakin tidak sembuh walaupun sudah 20 tahun,” papar Azmi.
Ia menambahkan, luka reformasi dapat disembuhkan jika negara ini kembali ke filosofi grondslag. Pancasila disebut Azmi harus menjadi auto regulator.
Bersambung ke halaman berikutnya
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan