Peringatan Untuk Jokowi

Pendapat yang disampaikan oleh Fahri Hamzah dan Azmi Syahputra pun diperkuat dengan hasil survei Indobarometer terkait 20 tahun Reformasi. Hasil survei ini menyimpulkan, mayoritas publik masih menilai tuntutan dan cita-cita reformasi masih belum terpenuhi.

Direktur Eksekutif Indobarometer, M. Qodari menyatakan, sebanyak 30,3% responden menyatakan bahwa amanat reformasi belum sepenuhnya terpenuhi. Di lain pihak, hanya 25,7% responden yang menyatakan bahwa amanat reformasi telah terpenuhi.

Menurut Qodari, hasil ini setali tiga uang dengan survei yang dilakukan pihaknya dengan tema yang sama pada 2011 silam. Dibandingkan survei yang baru dirilisnya, responden yang menyatakan amanat reformasi belum terpenuhi dalam survei pada April 2011 memiliki tingkat prosentase yang lebih tinggi.

Dalam survei tujuh tahun lalu, 46,8% responden menyatakan tuntutan reformasi belum terpenuhi, 26,2% tidak menjawab dan 16,2% masih ragu-ragu untuk menjawab.

Ada lima tuntutan amanat reformasi yang dianggap belum terpenuhi. Mayoritas hal itu terkait penegakkan hukum. Pertama soal pengusutan kasus penembakan mahasiswa Trisakti dan penculikan aktivis.

“Kemudian soal penegakan hukum yang adil, pengusutan dan pengadilan kasus korupsi yang dilakukan oleh Soeharto dan pengikutnya, pengusutan secara tuntas kasus kerusuhan Mei 1998 dan mengurangi kesenjangan ekonomi antara kelompok masyarakat yang mampu dan kurang mampu,” ucap Qodari di Jakarta, Minggu (20/5) lalu..

Adapun mereka yang menganggap tuntutan reformasi terpenuhi beberapa diantaranya karena, otonomi daerah, daerah punya kewenangan lebih besar untuk mengurus dirinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah pusat, dan alokasi anggaran untuk pendidikan yang cukup.

“Kemudian bagi yang merasa tuntutan terpenuhi yakni perekonomian yang berpihak pada industri kecil menengah, hingga hubungan antara lembaga negara yang mencerminkan semangat keseimbangan dan saling kontrol,” tandasnya.

Dalam kesempatan lain, hasil survei Indobarometer ini pun diamini oleh ekonom senior Rizal Ramli. Ia menilai, reformasi belum berhasil karena terbukti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) justru semakin marak.

Ekonom senior Rizal Ramli saat menyampaikan sambutan saat acara “Tuntaskan Reformasi Bersama Rizal Ramli” di Gedung Joang, Jakarta, Senin (21/5/18). Rizal Ramli menyatakan 20 tahun Reformasi, KKN atau korupsi kolusi dan nepotisme semakin terjadi secara sistemik, masif, dan menggurita. Mantan aktivis 77/78 ini juga membeberkan data yang terjadi selama 20 tahun reformasi. Menurut catatannya sebanyak 300 dari 352 bupati, setengah dari jumlah gubernur, dan ratusan anggota DPR dan DPRD dipenjara karena korupsi. AKTUAL/Tino Oktaviano

Ia menambahkan, selama 20 tahun terakhir ini, KKN justru semakin sistemik, massive dan menggurita di tanah air.

“Karena demokrasi yang digunakan adalah demokrasi kriminal,” kata Rizal dalam orasi politiknya pada acara ’20 Tahun Reformasi 21 Mei 1998 – 21 Mei 2018′ di Jakarta, Senin (21/5).

Pria yang telah mendeklarasikan diri sebagai Calon Presiden 2019 ini menegaskan, semangat reformasi tentang penghapusan KKN justru telah dikhianati oleh para pejabat dan aparatur negara sehingga membuat Indonesia tidak jua menuju ke arah yang lebih baik.

“300 dari 350 bupati telah masuk penjara, setengah dari gubernur telah dipenjara, ratusan anggota DPR dan DPRD dipenjara,” ucapnya.

“Ini bukan kasus orang per orang lagi, ini sistemnya. Orang baik yang masuk ke sistem ini pun akan rusak,” kata Rizal menambahkan.

Setelah 20 tahun, jelas mantan Menko Kemaritiman, reformasi gagal membawa kemakmuran untuk mayoritas rakyat. Karena Indoesia menempuh jalan sesat ekonomi, yaitu neoliberalisme, yang menjadi pintu masuk neokolonialisme, akhirnya pengangguran, kemiskinan dan ketidakadilan menjadi sulit dihapuskan.

“Akibat KKN yang masif dan menggurita serta neoliberalisme, membuat Indonesia tertinggal dan sulit mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain,” katanya.

“Tangung jawab sejarah kita hari ini adalah menuntaskan reformasi, yaitu menghapus KKN,” tambah Rizal.

Kondisi ini disebutnya bertambah buruk dengan kebijakan pemerintah yang terkesan asal-asalan dan tidak tepat sasaran. Rizal pun mengingatkan pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla, agar lebih berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan rakyat.

Menurutnya, kebijakan yang tidak tepat sasaran, dapat membuat rakyat meluapkan amarahnya, sehingga dapat menggoyang pemerintah.

“Kalau kita tidak hati-hati, hari ini mulai ada krisis kepercayaan, krisis ekonomi juga sudah mandek, mulai gejala krisis moneter juga sudah berjalan. Ada keresahan juga dari berbagai kelompok yang tidak nyaman dan aman,” papar Rizal dalam orasi politiknya di acara ’20 Tahun Reformasi 21 Mei 1998 – 21 Mei 2018′ di Jakarta, Senin (21/5).

Ia menilai, situasi ini hampir mirip dengan waktu menjelang terlaksananya Reformasi 20 tahun lalu. Hal-hal yang diucapkannya di atas juga terjadi secara bersamaan hingga menimbulkan demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa pada saat itu.

“Kami kahwatir, jangan-jangan bisa terjadi sesuatu (perubahan) yang lebih cepat (sebelum Pemilu), seperti 98,” tandas pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Bulog ini.

Rizal sendiri lebih memilih agar hal itu tidak terjadi dan pemerintahan tetap berjalan hingga 2019 nanti. Namun, ia sendiri mengakui jika hal ini akan sulit jika pemerintah terus salah dalam melangkah dan kerap melakukan blunder yang dapat menimbulkan antipati masyarakat.

“Harus ada reformasi jilid II, yang membangun demokrasi amanah dan berkeadilan, membuang jalan sesat ekonomi neoliberal, sehingga demokrasi dapat membawa masyarakat menjadi lebih sejahtera,” paparnya.

Tak hanya Rizal Ramli, nada peringatan yang sama pun dilontarkan oleh Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam media sosial twitter.

Melalui akun pribadinya, @SBYudhoyono, SBY mengatakan ada empat amanah reformasi yang mesti dijalankan dan diwujudkan oleh generasi sekarang dan mendatang.

“Kalau tidak, bisa ada reformasi lagi di masa depan,” cuit SBY.

Adapun empat amanah itu, kata SBY, antara lain, kekuasaan tidak boleh terlalu absolut. Sehingga, kebebasan rakyat dan demokrasi dapat tetap hidup. Selanjutnya, dia menyebut hukum mesti tegak dan tidak tebang pilih.

Ketiga, ekonomi harus adil dan menyejahterakan seluruh rakyat. Terakhir, SBY mengatakan dalam politik praktis, termasuk pemilihan umum, negara yang di dalamnya terdapat Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian RI, dan Badan Intelijen Negara harus netral dan tidak berpihak.

SBY meminta masyarakat tidak melupakan sejarah tersebut. Secara tersirat, ia pun merujuk pada pepatah yang menyebut keledai tidak akan jatuh dalam lubang yang sama.

“Keledai tak tersandung batu yang sama,” kata dia. “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bukan keledai, dan ingat sejarah” sambung SBY menutup cuitan tentang reformasi.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan