“Ini risiko buruk ke depan kalau biaya politik masih mahal. Tentu saja kepala daerah akan berisiko melakukan korupsi kembali. Kami sudah cukup banyak menangani kasus kepala daerah, ada 78 orang diproses di 29 kasus,” kata Febri beberapa waktu silam.

Pasal 47 UU NO. 8/2015 tentang Pilkada dengan jelas melarang partai atau gabungan partai politik menerima imbalan dalam bentuk apapun selama proses pencalonan kepala daerah.

Sebaliknya, pasal itu juga melarang setiap orang memberikan imbalan kepada partai dalam proses pencalonan pilkada.

Jika pengadilan menyatakan suatu partai melanggar ketentuan itu, maka mereka tidak diizinkan berpartisipasi dalam pilkada berikutnya di daerah tersebut. Namun KPU sempat mengungkapkan kalau penyelenggara pilkada tidak mendapak hak oleh hukum untuk mengusut mahar politik.

“Tapi ketika sudah ditetapkan menjadi peserta pilkada dan dia menyogok, itu masuk kategori politik uang. Mahar tidak diatur undang-undang,” ujar anggota KPU Ilham Saputra beberapa waktu yang lalu,

Setali tiga uang, KPK pun menyatakan tidak berwenang mengusut soal mahar politik. Lembaga antirasuah itu menilai bahwa persoalan mahar politik adalah ranah penyelenggara pemilu.

“Mahar-mahar itu jelas bukan kewenangan KPK. Akan tetapi KPK (bisa) melakukan koordinasi dengan KPU dan Bawaslu,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang beberapa waktu yang lalu.

Saut melanjutkan institusinya baru dapat mengusut ‘mahar dalam pemilu’ bila sumber uang yang dipakai berasal dari negara yang dikorupsi. Menurut Saut, hal itu seperti yang terjadi dalam beberapa pemilihan kepala daerah kemarin, di mana beberapa calon kepala daerah ditangkap melalui operasi tangkap tangan.

“Lain halnya bila bantuan dana tersebut bersumber dari hasil korupsi sebagaimana terdapat pada kasus pilkada serentak yang belum lama ini,” kata Saut.

Potensi munculnya mahar politik di pemilu memang masuk perhatian KPK, tapi bukan dalam konteks penindakan, malainkan pencegahan.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby