Hal ini dimaksudkan, agar ketika suatu saat mendengar orang lain membaca AlQur’an dengan riwayat yang berbeda dengan bacaan yang ia pelajari, maka tidak langsung menyalahkan dan mengingkarinya.
Sangatlah fatal apabila seseorang mengingkari suatu bacaan Alqur’an yang riwayatnya bersambung kepada baginda Nabi SAW, karena sama saja dia mengingkari firman Allah Ta’ala.
Seperti halnya dicontohkan, bahwa di dalam membaca ayat “مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ” (QS. Alfatihah:4), Imam ‘Ashim, Imam Kisa’I, Imam Ya’qub dan Imam Khalaf membaca “ مَالِكِ” dengan menetapkan alif setelah huruf mim. Adapun bacaan jumhur (kebanyakan ulama qira’at), adalah “ مَلِكِ” tanpa menetapkan alif setelah mim.
Kedua qira’ah ini adalah bersambung kedapa baginda Nabi SAW, sehingga kita harus meyakini bahwa keduanya adalah benar dan merupakan firman Allah.
Ketika kita orang Indonesia yang cara membacanya dengan riyawat Imam Hafs dari Imam ‘Ashim mendengarkan orang yang membaca dengan riwayat lain, maka tidaklah boleh mengingkarinya, dan tidak juga memaksakan orang lain untuk mengikuti cara bacaannya tersebut.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid