Jakarta, Aktual.com – Presiden Filipina Rodrigo Duterte disebut-sebut sebagai presiden yang kerap melontarkan kata-kata yang menyinggung soal perasaan. Tetapi demikian, apa yang disampaikan itu tentunya menjadi renungan bagi pribadinya.
Atas pernyataan yang mengundang amarah, Duterte pun menyampaikan permintaan maaf ke pemerintah Kuwait, karena telah melontarkan “kata-kata kasar”. Permintaan maaf itu disampaikan oleh Presiden Duterte di sela-sela pidato di hadapan komunitas warga negara Filipina di Korea Selatan.
Dikutip dari South China Morning Post, pertikaian antara Duterte dan pemerintah Kuwait bermula pada Februari lalu, ketika seorang tenaga kerja wanita (TKW) meninggal dalam kondisi mengenaskan, di mana jasadnya ditemukan tersimpan di dalam lemari pendingin milik majikannya.
Akibat insiden tersebut, Duterte memutuskan untuk menyetop pengiriman pekerja migran ke Kuwait, dan juga membatasi hal serupa ke negara-negara Teluk lainnya.
“Untuk pertama kalinya, saya mengakui bahwa saya telah berkata kasar, yang mungkin adalah hasil dari ledakan emosi. Tetapi saya ingin meminta maaf sekarang,” kata Presiden Rodrigo Duterte.
“Saya minta maaf untuk bahasa yang saya gunakan tetapi saya sangat puas dengan … bagaimana Anda (Kuwait) menanggapi masalah negara saya,” lanjutnya.
Pihak berwenang di Manila mengatakan sekitar 262.000 warga negara Filipina bekerja di Kuwait sebelum Februari. Mayoritas pekerja migran ini mencari nafkah sebagai pembantu rumah tangga.
Jumlah tersebut berada di tengah lebih dari dua juta warga negara Filipina yang bekerja di Timur Tengah, di mana arus pengiriman uang ke keluarga mereka di kampung halaman menjadi salah satu penggerak devisa terbaik negara kepulauan di utara Indonesia itu.
Pada puncak pertikaian, Duterte sempat menuduh para majikan di negara-negara Arab sering melakukan pemerkosaan terhadap TKW asal Filipina. Selain itu, dia juga menuding para majikan di kawasan Teluk kerap mempekerjakan buruh migran selama rata-rata 21 jam per hari, dan memberi mereka makanan sisa yang kurang layak.
Lain Duterte, lain pula Jokowi. Masalah yang dihadapi tentu tak serumit Duterte, karena Duterter memiliki masalah hidup dan mati warga negaranya. Sehingga, dirinya harus benar-benar keras untuk mengatasi masalah itu, karena bagaimana pun kepala negara harus melindungi warga negaranya.
Lantas bagaimana dengan pemimpin Indonesia yang belakangan ini “emosinya” naik turun menjelang tahun pemilihan presiden 2019? Masalah yang dihadapi Jokowi, memang tidak berat-berat amat, mengapa demikian, karena ini soal tuduhan dan dikait-kaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sudah dibubarkan.
Apakah pantas ketika seorang kepala negara seperti Jokowi melontarkan kata-kata yang memberi kesan “kasar”. Dalam KBBI berarti : memukul (kepala dan sebagainya) dengan telapak tangan; menampar.
“Kata-kata itu bisa mencermikan Jokowi putus asa atas atas keadaan hari ini. Akibatnya asal asal bunyi (asbun),” kata koordinator Gerakan Perubahan (Garpu) Muslim Arbi ketika dihubungi, Sabtu (24/11).
Apalagi, belakangan dia (Jokowi) melontarkan kata sontoloyo, genderuwo dan saat ini tabok. Ini harusnya tidak patut dilontarkan oleh Jokowi. Karena kata-kata itu bisa mecerminkan Jokowi tidak bisa mengontrol emosinya secara sehat untuk menghadapi realitas politik yang ada.
“Semakin dia (Jokowi) lontarkan istilah dan kosa kata kurang baik maka sesungguhnya dia rendahkan diri sendiri,” jelasnya.
Pendapat yang sama juga disampaikan pengamat politik dari Indonesian Public Institute (IPI) Jerry Massie. Terlebih, belakangan ini ada banyak bahasa ajaib yang disampaikan Jokowi.
Jokowi, kata dia, seharusnya bisa menguasai emosional. “Memang emosi dalam hal ini perlu ada penguasaan diri. Kan ada kecerdasan emosi atau emotional quitiont, spiritual quitiont (kecerdasan rohani) dan intelectual quitiont (kecerdasan intelektual). Dalam hal ini Jokowi perlu strong lagi soal kecerdasan emosional,” kata dia ketika dihubungi.
Ini, kata dia, membuktikan tim komunikasi Jokowi tidak jalan dengan baik alias pincang. Apalagi arti Tabok bisa negatif. Tabok dalam KBBI berarti : memukul (kepala dan sebagainya) dengan telapak tangan; menampar. “Ini konotasinya agak kurang polite (sopan). Barangkali bagi Jokowi ini bahasa yang bisa menaikkan elektabilitasnya,” kata dia.
Sebagai presiden, pernyataan Jokowi harusnya jangan sampai blunder. Oleh karenanya Jokowi perlu ahli strategi dan komunikasi seperti yang dimiliki Presiden AS Donald Trump.
Ahli strategi dan komunikasi tersebut sangat diperlukan agar lingiustik verbalnya Jokowi well done atau bagus. Sehingga bisa menyaring mana bahasa yang perlu dan tidak perlu disampaikan. “Pernyataan yang berkesan negatif jangan diumbar, bisa jadi bumerang,” tegasnya.
Disebut Teguran Halus?
Istilah ‘tabok’ yang digunakan Presiden Jokowi merupakan teguran halus. Istilah ini digunakan Jokowi terkait penyebaran hoax.
“Itu kan suatu teguran ya sebenarnya masih kategori halus ya untuk mengingatkan agar berbagai fitnah dan hoax itu sebenenarya tidak perlu dilakukan lagi,” ujar Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto di sela kegiatan safari kebangsaan PDIP di Bandung Barat, Jawa Barat, Sabtu (24/11).
“Kata tabok” hanya kiasan. Hasto lantas membandingkan dengan zaman orde baru. Bila di zaman orde baru, “kata tabok” akan menjadi wah, bahkan bisa berujung diculik, dan bisa dimasukkan penjara.
“Pak Jokowi itu kan cuma kiasan lah, kiasan dari seorang yang protes yang juga mengingatkan kata kata seprti itu agar ini menjadi cambuk untuk kita semuanya untuk mengedepankan hal yang positif,” ujar dia.
“Beliau sebagai presiden juga ingin menyampaikan bahwa politik itu harus ditunjukkan dengan hal-hal positif, sehingga dengan kerja nyata. Ya mari kita berlomba-lomba dengan itu. Nggak usahlah kemudian menggunakan berbagai upaya untuk memfitnah,” katanya.
Pengamat politik dari Institute for Strategic and Development Studies (ISDS) M Aminuddin menilai, seorang pemimpin puncak harusnya sangat tabu melontarkan kata-kata vulgar. Apalagi dalam tradisi Jawa yang menjunjung tinggi kehalusan bahasa dan perilaku.
Pernyataan Jokowi yang semakin vulgar dan mengerikan belakangan ini karena elektabilitasnya yang stagnan. “Mungkin beliau (Jokowi) agak panik elektabilitasnya stagnan dan sulit naik,” ujar Aminudin menanggapi pernyataan Jokowi yang semakin vulgar belakangan ini.
Pengamat politik dari Universitas Bunda Mulia (UBM) Silvanus Alvin juga menilai, diksi tabok keluar dari mulut Jokowi merupakan bentuk kekesalan karena diisukan sebagai antek PKI.
Pernyataan Jokowi sebagai peringatan dan ancaman untuk oknum-oknum yang menyebarkan isu PKI itu pada diri Jokowi. Oleh karenanya Jokowi tidak segan-segan untuk mengambil jalur hukum, atau mengerahkan aparat untuk mencari oknum tersebut.
“Karena isu PKI ini menyerang Jokowi, khususnya secara elektoral dan pribadi. Secara elektoral, ada 9 persen penduduk Indonesia yang percaya, atau hampir 6 juta jiwa. Dengan demikian, Jokowi akan kehilangan suara dari 9 persen itu. Apalagi kredibilitas Jokowi hancur karena dikaitkan dengan PKI,” kata dia.
Berikut ini tiga blunder pernyataan Jokowi: