Petugas Pekerjaan Dalam Keadaan Bertegangan (PDKB) Area Pela Bandung PLN Unit Transmisi Jawa Bagian Tengah melakukan penggantian Isolator pada Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) di tower 127 Cilegon - Cibinong, Desa Batok, Bogor, Jawa Barat, Selasa (26/7). Hingga Juni 2016, PLN telah membangun sepanjang 2.792 Kilometer Sirkuit (Kms) transmisi yang sudah dialiri listrik atau energize dan sekitar 16.712 Kms transmisi dalam tahap konstruksi serta 27.093 Kms dalam tahap pra konstruksi sebagai upaya mempercepat pembangunan proyek 35000 MW. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww/16.

Jakarta, Aktual.com – Keinginan Presiden Jokowi agar proyek listrik 35 ribu Mega Watt (MW) rampung pada 2019 boleh jadi bakal meleset. Tidak berjalan mulusnya beberapa tender pembangkit listrik yang digelar PT PLN (Persero) bisa menjadi indikator kuat bakal molornya proyek tersebut.

Paling anyar, menimpa pada lelang PLTMG Scattered 180 MW dan PLTMG Pontianak berkapasitas 100 MW. Meski pengumuman dan pendaftaran sudah dilakukan sejak jauh-jauh hari, namun hingga batas akhir penyerahan dokumen tender pada 26 Juli kemarin, tidak ada satu pun peserta yang mendaftar.

Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean menilai, sepinya peserta lelang listrik ini akibat sikap PLN sendiri. Ferdinand menilai, PLN seringkali menentukan sepihak pemenang tender sesuai selera direksi. Bahkan, meski peserta tender memenuhi standar tinggi persyaratan lelang yang diminta PLN, memiliki konsep, teknologi, serta tawaran harga bagus, tidak menjadi jaminan akan menang jika tidak bisa meraih hati direksi PLN.

Ferdinand menegaskan, pihaknya selalu mengamati pelaksanaan tender pembangkit di PLN. Direksi PLN tidak menentukan pemenang tender berdasarkan komitmen, tapi hanya pihak-pihak tertentu saja yang boleh menang.

Ferdinand menyebutkan, PLTU Jawa 5 dan PLTU Jawa 7 bisa menjadi bukti di mana proses tendernya tidak jalan hingga akhirnya dibatalkan sepihak oleh PLN dengan alasan-alasan sesuai kepentingan PLN. “Dalihnya demi keamanan,” imbuh Ferdinand di Jakarta, Kamis (28/7).

Padahal, dalam peta jalan pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW yang ditargetkan kelar pada 2019, PLTU Jawa 5 merupakan proyek yang diperuntukkan bagi pengembang swasta (independent power producer/IPP).

Ia juga khawatir nasib IPP Jawa I pun bakal bernasib sama dengan PLTMG Scattered dan Pontianak di mana tidak ada satupun peserta tender yang mengembalikan dokumen lelang. Karena calon lokasinya yang bakal di Muara Tawar ini justru bermasalah dengan program reklamasi Pemda DKI.

“Tidak ada keterbukaan dalam tender PLN, akhirnya investor ingin masuk jadi ragu. Kalau belum kesepakatan dengan direksi, investor malas masuk, apalagi jika belum ada deal, investor berpikir buat apa datang ikut tender,” tegasnya. Belum lagi, untuk ketemu direksi PLN sangat sulit.

Untuk itu, EWI berharap agar direksi PLN berbenah bahkan jika tidak ada perbaikan harus dirombak. “Harus ada sistem baru agar proses tender ada keterbukaan,” papar Ferdinand.

Dia juga mengkritik pola keterbukaan PLN dalam menjelaskan ke publik terkait perkembangan progres proyek listrik yang tidak jelas. “Berapa yang sudah produksi, berapa masih tahap kontruksi, atau tahap tender, tidak terpublikasi secara terbuka ke publik,” ujarnya.

“Kalau tidak ada perubahan, proyek listrik jangan harap selesai di 2019, apalagi membangun pembangkit bisa butuh waktu tiga hingga empat tahun, sementara sisa rezim tinggal tiga tahun,”  katanya.

Sementara, Pengamat hukum sumber daya alam dari Universitas Tarumanagara Ahmad Redi juga memberi penilaian sama bahwa investor seringkali sungkan ikut masuk di proses tender  listrik. Penyebabnya, lantaran seringkali tidak ada kepastian, misal dari bisnisnya, dalam hal ini kepastian harga jual listrik.

“Faktor lain, mereka juga khawatir dengan kinerja PLN sendiri. Belum lagi dalam kaitan dengan pembebasan lahan, PLN termasuk pemerintah tidak pernah membantu. Ada sumbatan besar sehingga investasi di proyek listrik, tersendat,” ujarnya.

Keluhan calon investor lainnya,  tidak ada insentif yang jelas bagi pengusaha sehingga mereka malas ikut beauty contest. Jika di daerah, juga seringkali berbenturan dengan masalah tata ruang.

Bisnis di Indonesia, kata Redi, sering tidak bisa diprediksi sehingga investor malas, aturan hukum bisa berubah tiba-tiba. Misal aturan pengadaan barang dan jasa bisa tiba-tiba berbenturan dengan pengadaan listrik. Juga, pejabat di daerah takut mengambil keputusan proyek karena khawatir tersangkut pidana.

Jika semua tidak dibenahi, ia khawatir proyek listrik ini tidak akan selesai tepat waktu. “Listrik, kan, kategori untuk kepentingan umum, untuk publik, PLN sendiri saja, termasuk pemerintah, seringkali juga tidak membantu swasta. Belum lagi ketika ada proyek, harga tanah bisa naik ratusan kali lipat, kepastian tidak ada,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka