Dalam tiga hari belakangan ini demonstrasi tolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) terjadi di Makassar dan sejumlah daerah. Jika pemerintah tetap ngotot menaikkan harga BBM, kemungkinan besar demonstrasi akan meluas ke daerah lainnya. 
Dalam perspektif sosiologi politik, jika demonstrasi meluas, masif dan militan akan berdampak pada instabilitas politik dan ekonomi. Respon pasar juga cenderung negatif terhadap instabilitas politik. 
Cara aparat merespons demonstran secara represif adalah penyumbang instabilitas politik paling utama. Oleh karena itu cara cara represif aparat menembak dan menangkap mahasiswa harus diakhiri. Jika tidak, justru represifitas aparat akan mendorong makin militannya gerakan mahasiswa.                     
Dalam perspektif gerakan sosial (social movement theory), gerakan mahasiswa adalah salah satu gerakan sosial modern yang daya tekannya cukup berpengaruh sejak era modern tahun 60-an bahkan sampai era 90-an dan hingga saat ini. 
Misalnya fakta tumbangnya rezim Soeharto dan rezim Husni Mubarok tidak bisa menafikan peran gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa menolak kenaikan harga BBM jika terus meluas dan militan pada level tertentu bisa mengancam pemerintahan Jokowi-JK. 
Oleh karena itu Jokowi-JK harus berfikir ulang untuk menaikan BBM saat ini. Dari studi kualitatif yang dilakukan Puspol Indonesia di Makasar ditemukan ada tiga faktor yang menyebabkan mahasiswa bergerak menolak kenaikan harga BBM. 
Pertama, faktor rasionalitas mahasiswa, bahwa kenaikan harga BBM bagi mahasiswa tidak masuk akal karena ditengah menurunya harga minyak dunia hingga dibawah 80 dolar per barel jauh dibawah asumsi APBN 105.
Rasionalitas mahasiswa juga memprediksi bahwa kenaikan BBM akan menyumbang inflasi 1,72 persen. Dampak langsungnya juga pada harga makanan dan tarif angkutan umum bisa naik 50 persen.
Kedua, faktor ideologis mahasiswa, bahwa secara ideologis mahasiswa menilai menaikan harga BBM berarti menarik atau mengurangi subsidi BBM. Langkah ini adalah langkah yang bertentangan secara ideologis dengan sistim ekonomi konstitusi UUD 45 yang justru spiritnya mewajibkan subsidi bagi kepentingan hajat hidup orang banyak. Negara berkewajiban mensubsidi rakyat banyak pengguna BBM murah yang mencapai 85 juta jiwa (pengguna motor, angkot, nelayan dan petani). 
Ketiga, faktor akumulasi kekecewaan mahasiswa terhadap Jokowi-JK dari pengangkatan menteri yang menempatkan kelompok mafia migas dan mentri yang berlabel warna merah oleh KPK. Di saat kekecewaan itu masih melekat, lalu Jokowi-JK malah mau menaikkan harga BBM. Akumulasi kekecewaan tersebut menemukan momentumnya di November ini jika Jokowi-JK menaikan BBM. 
Oleh Ubedilah Badrun, penulis buku Radikalisasi Gerakan Mahasiswa, Direktur Puspol Indonesia dan Pengamat Sosial Politik UNJ