Pertanyaan kemudian, siapakah yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana mewakili korporasi sebagai subjek hukum? Apakah hanya pengurus? Atau dapatkah “pejabat tinggi” korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana?
Ari menjelaskan dalam praktek bisnis sudah lazim terjadi pemegang saham mempengaruhi pengurus korporasi untuk melakukan perbuatan untuk kepentingan pemegang saham.

Para pemegang saham pengendali melalui RUPS menempatkan orang-orang sebagai direksi dan komisaris. Orang-orang yang oleh pemegang saham pengendali diberi jabatan strategis ini tidak lain adalah boneka dari pemegang saham pengendali dan menjalankan kebijakan pemegang saham pengendali tersebut.

“Hal itu dilakukan oleh pemegang saham, untuk memanfaatkan celah dalam UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Doktrin yang digunakan dalam UU No. 40 tahun 2007 adalah corporate veil, pemegang saham perseroan hanya bertanggungjawab atas saham yang disetor, dan melimpahkan beban pertanggungjawaban pidana kepada pengurus,” ujarnya.

Dengan doktrin corporate veil tersebut, Ari menjelaskan, para pemegang saham mempunyai peluang dalam melakukan tindakan hukum, antara lain menjadikan korporasi sebagai vihicle, menganggap direksi dan komisaris seakan-akan sebagai pegawai pemegang saham yang harus tunduk dan patuh pada pemegang saham.

Mengambil kebijakan yang menjadi wewenang direksi dan/atau dewan komisaris. Maraknya perjanjian nominee saham, untuk mengelabuhi kepemilkan saham yang sebenarnya. Membentuk holding company di bawah pengendalian ultimate shareholder.

Melihat kasus penimbunan barang berupa obat dan alat kesehatan, meski perbuatan tersebut dilakukan oleh pengurus, namun tidak menutup kemungkinan perbuatan pengurus itu atas perintah pemegang saham, sebagaimana pernah terjadi dalam beberapa kasus perbankan dan pembakaran lahan di tanah air. Karena pihak yang paling diuntungkan terhadap laba korporasi adalah pemegang saham. Dengan demikian, ada baiknya Polri tidak hanya menyidik pengurus namun juga pemegang saham.