Jakarta, Aktual.com — Ustad Hasanudin menjelaskan ada empat hal yang mesti dilakukan terhadap jenazah orang yang sudah meninggal dunia oleh yang hidup. Yaitu, memandikan, mengafani, menyalatkan, dan menguburkan.

1. Memandikannya

A. Hukum memandikan dan mengafani jenazah yaitu, fardhu kifayah. Apabila telah dikerjakan oleh sebagian kaum Muslimin, maka bagi yang lain gugur kewajibannya. Dengan dalil sabda Rasulullah SAW tentang seorang muhrim (orang yang mengerjakan ihram) yang terjatuh dan terlempar dari untanya,

اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ

Artinya, “Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, dan kafanilah dengan dua helai kainnya.”(Muttafaqun ‘alaih)
B. Orang yang paling berhak memandikan seorang jenazah adalah orang yang diberi wasiat untuk mengerjakan hal ini. Seseorang terkadang berwasiat karena ingin dimandikan oleh orang yang bertakwa, orang yang mengetahui hukum-hukum memandikan mayat. Dahulu Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu pun pernah berwasiat supaya dimandikan oleh isterinya, yaitu Asma’ binti Umais, kemudian dia (Asma’ binti Umais) mengerjakannya.

Setelah orang yang diberikan wasiat, orang yang paling berhak untuk memandikan yaitu bapaknya, kemudian kakeknya. Selanjutnya kerabat dekat dari ashabahnya (kerabat lelaki, red). Jika mereka semua sama di dalam hak ini, maka diutamakan orang yang paling mengetahui hukum-hukum mengurus jenazah.

C. Diperbolehkan bagi suami atau isteri untuk memandikan pasangannya.

Diriwayatkan dari Rasulullah SAW, Beliau bersabda kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha,

لَوْ مُتِّ قَبْلِيْ لَغَسَلْتُكِ وَكَفَنْتُكِ

Artinya, “Seandainya engkau mati sebelumku, pasti aku akan memandikan dan mengkafanimu.”(HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ad Darimi)

D. Bagi seorang lelaki atau wanita, boleh memandikan anak yang di bawah umur tujuh tahun, baik laki-laki atau perempuan.

Ibnul Mundzir berkata, “Telah sepakat para ulama yang kami pegang pendapatnya, bahwa seorang wanita boleh memandikan anak kecil laki-laki.” Karena tidak ada aurat ketika hidupnya, maka demikian pula setelah matinya.(Al Mulakhash Al Fiqhi (1/207))

E. Seorang Muslim tidak boleh memandikan dan menguburkan seorang kafir

Allah berfirman kepada Rasulullah SAW,

وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلاَ تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِالله

Artinya, “Janganlah engkau menyalatkan seorang yang mati di antara mereka selama-lamanya, dan janganlah engkau berdiri di atas kuburnya, sesungguhnya mereka kafir kepada Allah.”(At Taubah : 84)

Yang dimaksud dengan ayat tersebut, yaitu haram menguburnya seperti mengubur seorang muslim. Akan tetapi kita gali untuknya lubang, kemudian dimasukkan mayat orang kafir ke dalam lubang tersebut, atau ditutup dengan sesuatu. Karena Rasulullah SAW memerintahkan untuk melempar jenazah kaum musyrikin yang terbunuh dalam Perang Badar ke dalam satu sumur di antara sumur-sumur yang ada di Badar.(HR. Al Bukhari di dalam kitab Al Maghazi)

F. Kaifiyat memandikan jenazah.

“Hendaklah dipilih tempat yang tertutup, jauh dari pandangan umum, tidak disaksikan kecuali oleh orang yang memandikan dan orang yang membantunya. Kemudian melepaskan pakaiannya semula dipakainya setelah diletakkan kain di atas auratnya, sehingga tidak terlihat oleh seorang pun,” terang Ustad Hasan-sebutan akrab Hasanudin, kepada Aktual.com, di Jakarta, Rabu (24/02).

“Kemudian dilakukan istinja terhadap jenazah dan dibersihkan kotorannya. Sesudah itu dilakukan wudhu seperti wudhu ketika akan salat. Akan tetapi, Ahlul Ilmi mengatakan, tidak dimasukkan air ke dalam mulut dan hidungnya, namun diambil kain yang dibasahi dengan air, lalu dipakai untuk menggosokkan giginya dan bagian dalam hidungnya, kemudian dibasuh kepala dan seluruh tubuhnya, dimulai dengan bagian kanan.”

Hendaknya dicampurkan daun bidara ke dalam air. Daun bidara tersebut dipakai untuk membersihkan rambut kepala dan janggutnya. Pada kali yang terakhir diberi kapur (butir wewangian), karena Rasulullah SAW memerintahkan demikian kepada para wanita yang memandikan putrinya. Beliau bersabda, “Ambillah kapur pada kali yang terakhir, atau sesuatu dari kapur.” Kemudian dikeringkan dan diletakkan di atas kain kafan.(Su’alan Fi Ahkamil Janaiz, Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin)
G. Tidak diperbolehkan untuk mendatangi tempat pemandian jenazah, kecuali orang yang akan memandikan dan orang yang membantunya.

H. Ketika memandikan jenazah, perlu memperhatikan hal-hal berikut ini,

“Yang wajib dalam memandikan jenazah adalah sekali. Namun apabila belum bersih, maka tiga kali dan seterusnya yang diakhiri dengan hitungan ganjil. Dan disunahkan untuk menyertainya dengan daun bidara atau sesuatu yang membersihkan, seperti sabun atau yang lainnya. Hendaknya pada kali yang terakhir, dicampurkan butir wewangian (kapur). Melepaskan ikatan rambut dan membersihkannya dengan baik, menguraikan dan menyisir rambutnya, mengikat rambut wanita menjadi tiga ikatan dan meletakkan di belakangnya. Memulai memandikan dengan bagian tubuhnya yang kanan, anggota wudhunya terlebih dahulu.” (Kitab Ahkamul Janaiz)

I. Apabila tidak ada air untuk memandikan jenazah, atau dikhawatirkan akan tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau mayat tersebut seorang wanita di tengah-tengah kaum lelaki, sedangkan tidak ada mahramnya atau sebaliknya, maka mayat tersebut di tayammumi dengan tanah (debu) yang baik, diusap wajah dan kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau yang lainnya.
J. Disunahkan untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan jenazah

Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

Artinya, “Barang siapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barang siapa yang memikul jenazah, maka hendaklah dia wudhu.”(HR. Ahmad, Abu Dawud)

K. Seorang yang mati syahid (terbunuh) di medan perang tidak boleh dimandikan, meskipun dia dalam keadaan junub, bahkan dikubur dengan pakaian yang menempel padanya.

Dalam Hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِدَفْنِ شُهَدَاءِ أُحُدٍ فِي دِمَائِهِمْ وَلَمْ يُغَسَّلُوْا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ

Artinya, “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur para syuhada’ Uhud dalam (bercak-bercak ) darah mereka, tidak dimandikan dan tidak disalatkan.”(HR. Al Bukhari)

Hukum ini khusus bagi syahid ma’rakah (orang yang terbunuh di medan perang). Adapun orang yang meninggal terbunuh karena membela hartanya atau kehormatannya, mereka tetap dimandikan, meskipun mereka juga syahid. Demikian pula orang yang eminggal karena wabah tha’un, atau karena penyakit perut, mati tenggelam atau terbakar. Meskipun mereka syahid, mereka tetap dimandikan.

L. Apabila janin yang mati keguguran dan telah berumur lebih dari empat bulan, maka dimandikan dan disalatkan. Berdasarkan hadits Al Mughirah yang marfu’,

وَ الطِّفْلُ (و في رواية: السِّقْطُ) يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْعَى لِوَالِدَيْهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ

Artinya, “Seorang anak kecil (dan dalam satu riwayat, janin yang mati keguguran), dia disalatkan dan dido’akan untuk kedua orang tuanya dengan ampunan dan rahmat.”(HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi)

Karena setelah empat bulan sudah ditiupkan padanya ruh, sebagaimana dalam hadis tentang penciptaan manusia yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud.

2. Mengkafani

Bila kita telah selesai dalam memandika jenazah selatnjutnya mengkafani jenasah tersebut, yang wajib dari kafan adalah yang menutup seluruh tubuhnya. Rasulullah SAW bersabda di dalam hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu,
إِذَا كَفَّنَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُحَسِّنْ كَفَنَهُ

Artinya, “Apabila salah seorang diantara kalian mengkafani saudaranya, maka hendaklah memperbagus kafannya.”(HR. Muslim)

“Yang dimaksud dengan memperbagus kafannya, yaitu yang bersih, tebal, menutupi (tubuh jenazah) dan yang sederhana. Yang dimaksud bukanlah yang mewah, mahal dan yang indah,” terang Ustad Hasan menambahkan.

Mengenai kain kafan ini sendiri harus kain kafan yang diambilkan dari harta mayat, dan lebih didahulukan dari pada untuk membayar hutangnya. Karena Rasulullah SAW pun memerintahkan untuk dikafani dengan pakaian ihram miliknya sendiri. Demikian pula kisah Mush’ab bin Umair yang terbunuh pada perang Uhud, kemudian dikafani oleh Rasulullah SAW dengan pakaiannya sendiri.

Dan disunahkan untuk dikafani dengan tiga helai kain putih. Karena Rasulullah dikafani dengan tiga lembar kain putih suhuliyyah, berasal dari negeri di dekat Yaman serta di beri wewangian dari bukhur (wewangian dari kayu yang dibakar). Rasulullah SAW bersabda,

إِذَا جَمَّرْتُمُ الْمَيِّتَ فَجَمِّرُوْهُ ثَلاَثًا

Artinya, “Apabila kalian memberi wewangian kepada mayit, maka berikanlah tiga kali.”(HR. Ahmad)

Apabila ada beberapa mayit, sedangkan kain kafannya kurang, maka beberapa orang boleh untuk dikafani dengan satu kafan dan didahulukan orang yang paling banyak hafalan Al Qurannya, sebagaimana kisah para syuhada Uhud.

Apakah ada perbedaan Kafan seorang wanita sama seperti kafan seorang lelaki ?

“Dalam hal ini telah ada hadits marfu’ (kafan seorang wanita adalah lima helai kain). Akan tetapi, di dalamnya ada seorang rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh karena itu, sebagian ulama berkata, ‘seorang wanita dikafani seperti seorang lelaki. Yaitu tiga helai kain, satu kain diikatkan di atas yang lain’,”terangnya

3. Menyalatkan

Salat jenazah terdapat tujuh rukun,

1. Berniat (di dalam hati)
2. Berdiri bagi yang mampu
3. Melakukan empat kali takbir (tidak ada ruku’ dan sujud)
4. Setelah takbir pertama, membaca Al Fatihah
5. Setelah takbir kedua, membaca shalawat (minimalnya adalah allahumma sholli ‘ala Muhammad)
6. Setelah takbir ketiga, membaca doa untuk mayit. Karena inilah maksud inti dari shalat jenazah
7. Salam setelah takbir keempat

Tujuh rukun di atas disebutkan oleh Muhammad Al Khotib dalam kitab Al Iqna’.

Adapun di antara yang bisa dibaca pada do’a setelah takbir ketiga yaitu,
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ

Artinya, “Ya Allah, Ampunilah dia (mayat) berilah rahmat kepadanya, selamatkanlah dia (dari beberapa hal yang tidak disukai), maafkanlah dia dan tempatkanlah di tempat yang mulia (Surga), luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air salju dan air es. Bersihkan dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran, berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), berilah keluarga (atau istri di Surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), dan masukkan dia ke Surga, jagalah dia dari siksa kubur dan Neraka.” (HR. Muslim)

“Catatan, Do’a di atas berlaku untuk mayat laki-laki. Jika mayat perempuan, maka kata –hu atau –hi diganti dengan –haa. Contoh “Allahummaghfirla-haa warham-haa …”. Do’a di atas dibaca setelah takbir ketiga dari shalat jenazah.”

Dan apabila jenazah tersebut masih anak kecil maka ada do’a khusus untuk anak kecil,

اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَنَا فَرَطًا وَسَلَفًا وَأَجْرًا

Artinya, “Ya Allah, Jadikan kematian anak ini sebagai simpanan pahala dan amal baik serta pahala buat kami”. (HR. Bukhari)

Doa setelah takbir keempat,
اللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَّ بَعْدَهُ وَاغْفِرْلَناَ وَلَهُ

Artinya, “Ya Allah, Jangan menghalangi kami untuk tidak memperoleh pahalanya dan jangan sesatkan kami sepeninggalnya, ampunilah kami dan ampunilah dia.”

Untuk jenazah perempuan, kata –hu diganti –haa.

4. Menguburkan

Jenazah yang dikuburkan di liang lahat harus dengan diarahkan ke arah kiblat. Jenazah dimasukkan dalam kubur dengan mengakhirkan kepala dan dimasukkan dengan lemah lembut, dan bagi yang memasukkan ke liang lahat hendaklah mengucapkan, Bismillah wa ‘alaa millati rosulillah (Dengan nama Allah dan di atas ajaran Rasulullah). Akan tetapi yang harus di ingat adalah ada hal yang dilarang saat ada di kuburan yaitu,

Dilarang mendirikan bangunan di atas kubur dan tidak boleh kubur disemen. Ini pendapat dalam madzhab Syafi’i namun banyak diselisihi oleh kaum muslimin di negeri kita karena kubur yang ada saat ini dipasang kijing, marmer dan atap.

Padahal terdapat Hadis, dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah SAW melarang dari memberi semen pada kubur, duduk di atas kubur dan memberi bangunan di atas kubur.” (HR. Muslim). Bersambung….

Artikel ini ditulis oleh: