Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi belum lama ini telah mengumumkan penyelidikan perkara dugaan korupsi Rumah Sakit Sumber Waras dihentikan. Klaim KPK, tidak ada temuan tindak pidana korupsi dalam perkara itu.
Padahal, publik masih ingat betul ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengumumkan adanya penyimpangan dalam pembelian RS Sumber Waras, yang terletak di wilayah Jakarta Barat tersebut.
Direktur Centre for Budget Analisys Uchok Sky Khadaf menduga dihentikannya kasus tersebut karena dua faktor, yakni adanya proses Pilkada dan KPK direpotkan oleh kasus ‘ecek-ecek’ yang saat ini ditangani.
“Kalau KPK menangani sumber waras, dan bisa dihajar KPK dianggap sedang bermain politik, dan memenangkan calon tertentu,” ujar Uchok ketika dihubungi, Kamis (13/10).
Bisa jadi karena dua faktor itu membuat KPK ‘puasa’ menangani kasus-kasus ‘kelas kakap’, seperti dugaan penyimpangan pembelian RS sumber waras. “KPK lagi puasa menggarap kasus sumber waras.”
Bisa jadi, kata Uchok KPK malu untuk mengusutnya kembali, lantaran sebelumnya KPK ‘ngotot’ tidak ada niat jahat dan tidak ada kerugian negara dalam proyek ini. “Masa sekarang, mau diangkat dan dibuka lagi kasus sumber waras! Hal ini bisa memalukan KPK, yang kepercayaan publik saat ini sudah merosot gara-gara para komisioner sendiri.”
Menilik kebelakang
Audit investigasi yang dilakukan BPK terkait RS sumber waras berawal saat laporan hasil pemeriksaan atas laporan keungan pemerintah daerah DKI tahun 2014 terbit.
“Ada temuan nomor 30, saya ingat karena saya teliti betul kesimpulan temuan itu antara lain mengatakan bahwa pembelian Rumah Sakit Sumber Waras telah mengakibatkan Pemda DKI rugi sebesar Rp 191miliar,” kata mantan pelaksana tugas Taufiequracham Ruki di Masjid Baiturahman, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (23/6) silam.
Hasil laporan pemeriksaan itu, kata Ruki dipelajarinya dari perspektif auditor. Sehingga dia melihat adanya indikasi perbuatan melawan hukum dalam kasus tersebut. “Sudah pasti perbuatan melawan hukum dan kemudian saya perintahkan kepada penyelidik saya untuk melakukan penyelidikan,” kala itu.
Selanjutnya, Ruki pun meminta kepada BPK untuk melakukan audit investigasi. Artinya mendalami kembali ke pemeriksaan itu. Selanjutnya, audit investigasi tersebut diminta Ruki untuk menjelaskan adanya fraud atau kecurangan yang menimbulkan kerugian negara.
“Maka masuklah laporan itu ke KPK.”
Namun sayang, audit investigatif tersebut diterima KPK saat masa jabatan Ruki selesai selaku Plt pimpinan KPK. Laporan tersebut pun diserahkan Ruki kepada Komisioner KPK yang baru. Apalagi, perkara tersebut masih berstatus penyelidikan.
“Tetapi yang saya baca audit investigasi karena dipaparkan oleh Profesor Edi (BPK) kepada pimpinan KPK lengkap. Cuma saya datang terlambat karena waktu itu saya sakit, diyakini telah terjadi kerugian negara sebesar Rp 191 miliar dengan prosedur yang dilanggar Pemda DKI disebutkan. Kalau tidak salah enam poin indikasi itu yang menjelaskan pertanyaan kami,” kata Ruki ketika itu.
Ruki mengaku tidak memahami alasan pimpinan KPK yang baru ini, yang menyebutkan tidak ditemukan indikasi perbuatan melawan hukum. “Kalau berdebat, saya orang luar, apa bedanya saya dengan pengamat.”
Ruki mengingatkan, pihak yang berwenang menentukan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum itu penyelidik. “Itu betul-betul dibedah adalah kenapa penyelidik menyebutkan tidak ditemukan indikasi perbuatan melawan hukum di KPK.”
Dia menilai telah terdapat clue perbuatan pelanggaran atas prosedur. Sehingga penyelidik dapat mendalami hal itu. Ditambah, perencanaan sebuah anggaran sudah terdapat tata cara yang mengatur hal itu. Dia pun mengingatkan pembelian sebuah tanah dengan menggunakan anggaran negara menggunakan cash and carry, saat tanah itu otomatis milik Pemda DKI saat terjadi pembayaran.
“Sekarang perjanjiannya dua tahun kemudian baru bisa jadi milik Pemda DKI. Logikanya sudah menyalahi UU Keuangan Negara. Itu yang saya bilang clue tadi. Pembayaran cek kontan. Menimbulkan banyak question mark.”
Namun demikian, KPK yang dipimpin Agus Rahardjo mengklaim tidak menemukan adanya tindak pidana dalam kasus pembelian lahan milik Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta Barat, oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Dari hasil penyelidikan tersebut, KPK tidak meningkatkan proses hukum ke tahap penyidikan. “Penyidik kami tidak menemukan perbuatan melawan hukum,” kata Agus Rahardjo di sela-sela rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (14/6).
Padahal, sebelumnya BPK telah menyebut adanya perbedaan harga lahan yang mengindikasikan kerugian negara Rp 191 miliar.
Laporan: Musdianto
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu