Jakarta, Aktual.com – Peneliti ekonomi energi dari UGM, Fahmy Radhi melihat keinginan pemerintah Indonesia untuk bergabung kembali dengan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC/ Organization of the Petroleum Exporting Countries) tidak akan memberi manfaat signifikan bagi kepentingan nasional.
Mengingat Indonesia bukan lagi negara eksportir namun melainkan negara importir sehingga posisi Indonesia dalam organisasi itu tidak akan mampu memainkan peranan yang strategis.
“Reaktivasi merupakan keputusan anomaly. Apalagi keputusan itu sekedar memenuhi permintaan Saudi dan UEA agar Indonesia menjadi penyeimbang, tanpa ada benefit yang diperoleh Indonesia. Sebagai negara net importir, tidak ada urgensi bagi Indonesia untuk kembali menjadi anggota negara eksportir minyak,” katanya kepada Aktual.com, Selasa (6/6).
Lagipula lanjutnya, OPEC tidak lagi memberi pengaruh signifikan pada harga minyak dunia, malah negara non OPEC menjadi kunci penentuan pergerakan harga minyak global.
“Justru kerugian yang akan diderita Indonesia jika bergabung dengan OPEC yaitu harus bayar iuran tahunan dalam jumlah besar dan berpotensi terkena kewajiban menurunkan produksi untuk memenuhi quota produksi yang disepakti OPEC,” pungkasnya.
Untuk diketahui, Kementrian ESDM telah mengirim surat permohonan aktivasi kepada OPEC sejak 24 Mei. Pengajuan ini atas bujukan dari Menteri Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA).
“Ada permintaan dari Menteri Energi Arab Saudi dan UEA ngajak Indonesia untuk masuk lagi. Indonesia kan punya peran yang cukup ditunggu-lah, diharapkan oleh anggota OPEC. Reaktivasi terus Menteri ESDM ngirim surat ke OPEC per 24 Mei mengajukan reaktivasi,” ujarnya di Jakarta, Senin (5/6).
Namun lanjut Sujatmiko surat aktivasi keanggotaan itu tidak begitu saja dilakukan oleh pemerintah Indonesia, melaikan pemerintah Indonesia mensyaratkan tidak ada pemotongan produksi.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka