Jakarta, Aktual.com — Ittiba’ (mengikuti) kebenaran adalah kewajiban setiap manusia sebagaimana Allah SWT mewajibkan setiap manusia agar selalu ittiba’ kepada wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada para Rasul-Nya. Allah SWT menjadikan wahyu tersebut sebagai petunjuk bagi manusia di dalam kehidupannya.

Tidak ada yang membangkang kepada perintah Allah SWT kecuali orang-orang yang taqlid kepada nenek moyangnya atau kebiasaan yang berlaku di sekelilingnya atau hawa nafsunya yang mengajak untuk membangkang dari perintah Allah SWT. Mereka menolak datangnya kebenaran karena taqlid.

Tidak ada satu pun kesesatan kecuali disebabkan taqlid kepada kebatilan yang diperintahkan oleh Iblis sehingga tampak sebagai kebenaran. Inilah sebab kesesatan setiap kaum para Rasul yang menolak dakwah para Rasul. IniIah sebab kesesatan orang-orang Nashara (Nasrani) yang taqlid kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka. Inilah sebab kesesatan setiap kelompok ahli bid’ah yang taqlid kepada pemikiran-pemikiran sesat bersama gembong-gembong mereka.

Menurut Ustad Abdul Aziz dalam khutbah Jumatnya di Masjid An Nur, di kawasan Cibubur, Jakarta Timur, para pengikut kesesatan ini menggunakan segala cara untuk mempertahankan kesesatan mereka sekaligus mengajak orang-orang selain mereka kepada jalan yang salah.

Para pengikut kesesatan menyebarkan, subhat bahwa orang yang ittiba’ kepada manhaj para Ulama adalah taqlid kepada Ulama. Pengikut sesat ini mencapuradukkan antara taqlid dan ittiba’.

“Jika mereka (pengikut sesat) diseru untuk meninggalkan taqlid kepada pemikiran para pemimpin kesesatan mereka, mereka balik membantah, ‘Wahai para penyeru kebaikan kalian juga taqlid kepada para Ulama kalian !’,” kata Ustad Abdul Aziz kepada jemaah Masjid, Jumat (29/01)

“Inilah jalan setiap pemilik kesesatan dari masa ke masa, mereka gabungkan antara kebatilan dengan kebenaran, mereka kaburkan garis pemisah antara keduanya.”

Untuk diketahui, taqlid secara bahasa adalah meletakkan “Al-qiladatun” (kalung) ke leher. Dipakai juga dalam hal menyerahkan perkara kepada seseorang seakan-. akan perkara tersebut diletakkan di lehernya seperti kalung. (Lisanul Arab 3/367 dan Mudzakkirah Ushul Fiqh)

Adapun taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya sebagaimana dikatakan oleh Al Imam Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad (Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/993 dan l’lamul Muwaqqi’in 2/178].

Ada juga yang mengatakan bahwa taqlid adalah mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. (Mudzakkirah Ushul Fiqh hal. 3 14).

Allah SWT mencela taqlid dalam Kitab-Nya, Allah SWT berfirman.

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Artinya, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah SWT dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah: 31)

Ketika Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam membaca ayat Ini maka dia mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami dulu tidak menjadikan mereka sebagai Rabb-rabb.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, Bukankah jika mereka halalkan kepada kalian apa yang diharamkan atas kalian maka kalian juga menghalalkannya, dan jika mereka haramkan apa yang dihalalkan atas kalian maka kalian juga mengharamkannya?” Adi Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ltulah peribadatan kepada mereka” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Jami’ nya 3095 dan Baihaqidalam Sunan Kubra 10/116 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Ghayatul Maram hal.20).

Allah SWT berfirman,

“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab : “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya” (QS. Az-Zukhruf : 23-24).

Al Imam lbnu Abdil Barr Rahimahullahu berkata, “Karena mereka taqlid kepada bapak-bapak mereka maka mereka tidak mau mengikuti petunjuk para Rasul” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/977].

Allah SWT menyifati orang-orang yang taqlid dengan firman-Nya.

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah SWT ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun” (QS. Al-Anfal: 22)

إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ

“Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dan orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali” (QS. Al-Baqarah: 166)

Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Para Ulama berargumen dengan ayat-ayat mi untuk membatalkan taqlid” (Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/978).

Pengertian lain dari ittiba’ adalah jika Engkau mengikuti suatu perkataan seseorang yang nampak bagimu ke-shahihannya sebagaimana diktakan oleh Al-Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/787.

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Aku tidak pernah mendebat seorang pun kecuali aku katakan: Ya Allah jalankan kebenaran pada hati dan lisannya, jika kebenaran bersamaku maka dia ittiba’ kepadaku dan jika kebenaran bersamanya maka aku ittiba’ padanya.” (Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam oleh Al-’Izz bin Abdis Salam 2/I 36).

Al-Imam lbnu Abdil Barr berkata, “Taqlid menurut para Ulama bukan ittiba, karena ittiba’ adalah jika Engkau mengikuti perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihan perkataannya, dan taqlid adalah jika Engkau mengikuti perkataan seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu segi dan makna perkataannya” (Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/787).

Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad berkata, “Taqlid maknanya dalam syari‘at adalah merujuk kepada suatu perkataan yang tidak ada argumennya, ini adalah dilarang dalam syari’at, adapun ittiba maka adalah yang kokoh argumennya.”

Beliau juga berkata, “Setiap orang yang Engkau ikuti perkataannya tanpa ada dalil yang mewajibkanmu untuk mengikutinya maka Engkau telah taqlid kepadanya, dan taqlid dalam agama tidak shahih. Setiap orang yang dalil mewajibkanmu untuk mengikuti perkataannya maka engkau ittiba’ kepadanya. Ittiba’ dalam agama dibolehkan dan taqlid dilarang” (Dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam kmtabnya Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/993)

Al-Imam Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy berkata, “Umat ini telah sepakat bahwa tidak wajib taat kepada seorangpun dalam segala sesuatu kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam …makà barangsiapa yang ta’ashub (fanatik) kepada salah seorang Imam dan mengesampingkan yang lainnya seperti orang yang ta’ashub kepada seorang sahabat dan mengesampingkan yang lainnya, seperti orang-orang Rafidhah yang ta’ashub kepada Ali dan mengesampingkan tiga khalifah yang lainnya. ini jalannya ahlul ahwa” (Al-Ittiba’ cet. kedua hal. 80)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa yang ta’ ashub kepada seseorang, dia kedudukannya seperti orang-orang Rafidhah yang ta’ashub kepada salah seorang sahabat, dan seperti orang-orang Khawarij. Ini adalah jalan ahli bid’ ah dan ahwa’ yang mereka keluar dan syariat dengan kesepakatan umat dan menurut Kitab dan Sunah … yang wajib kepada semua makhluk adalah ittiba’ kepada seorang yang mashum (yaitu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam) yang tidak mengucap dan hawa nafsunya, yang dia ucapkan adalah wahyu yang diturunkan kepadanya.” (Mukhtashar Fatawa Mishniyyah hal.46-47).

Artikel ini ditulis oleh: