Jakarta, Aktual.com — Apakah boleh Muslim melampui marahnya dan tidak bisa menahan emosi dengan berteriak pada orang yang dimarahi, karena hal ini sering terjadi tanpa disadari?

“Tahukah Anda bahwa Rasul Muhammad SAW juga pernah marah?. Marah atau gembiranya Nabi Muhammad dapat dibedakan dari rona wajahnya, karena kulitnya sangat bersih. Bila marah, pelipisnya memerah. Bila marah dan saat itu sedang berdiri, ia duduk. Bila marah dalam keadaan duduk, ia berbaring. Seketika, hilanglah amarahnya,” beber Ustad Muhamad Ikrom menerangkan, kepada Aktual.com, di Jakarta, Jumat (26/02)

“Bila Nabi Muhammad sedang marah, tak ada seorang pun yang berani berbicara padanya, selain Ali bin Abi Thalib. Lepas dari itu, ia sulit sekali marah, dan sebaliknya, mudah sekali memaafkan. Kesaksian ini dikutip secara valid oleh Yusuf an-Nabhani dalam “Wasail al-Wushul ila Syamail al-Rasul,” ungkap ia.

Selanjutnya, bagaimana Nabi Muhammad marah?. Padahal ia sendiri melarang umatnya untuk marah?.

Dalam riwayat Abu Hurairah misalnya, Nabi Muhammad mengatakan, “Orang yang kuat tidaklah yang kuat dalam bergulat, namun mereka yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Malik).

Dalam riwayat Abu Said al-Khudri, Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik orang adalah yang tidak mudah marah dan cepat meridhoi, sedangkan seburuk-buruk orang adalah yang cepat marah dan lambat meridhoi.” (HR. Ahmad).

Ustad Muhamad Ikrom menerangkan, bahwa kemarahan Nabi Muhammad itu memang disebabkan oleh beberapa hal. Namun, dapat dipastikan, ke semuanya bermuara pada satu sebab, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan agama, bukan kepentingan pribadinya.

Rasulullah SAW perlu marah untuk memberikan penekanan bahwa hal tertentu tak boleh dilakukan umatnya. Sebagai guru seluruh manusia dan pemberi petunjuk ke jalan yang lurus, Nabi Muhammad perlu marah agar mereka menjauhi segala perbuatan yang tidak baik.

“Rasulullah SAW pernah marah saat mendengar laporan bahwa dalam medan peperangan, Usamah bin Zaid membunuh orang yang sudah mengatakan “La Ilaha illallah” (tiada Tuhan selain Allah).

“Sedangkan, Usamah membunuhnya karena menyangka orang itu melafalkan kalam tauhid hanya untuk menyelamatkan diri. Rasulullah SAW menyalahkan Usamah dan berkali-kali mengatakan, “Apakah engkau membunuhnya setelah dia mengatakan La Ilaha illallah?” (HR Al Bukhari)

“Raut wajah Nabi Muhammad SAW berubah karena marah, ketika sahabat merayu agar ia tak memotong tangan seorang wanita yang mencuri. Alasan mereka, ia adalah wanita terpandang dari klan Bani Makhzum, salah satu suku besar Quraisy. Nabi tegaskan, “Apakah layak aku memberikan pertolongan terhadap tindakan yang melanggar aturan Allah?” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

“Pada kejadian lain, di pasar Madinah, terjadi perselisihan antara seorang sahabat Nabi dengan pedagang Yahudi. Perselisihan itu sampai membuat si Yahudi bersumpah, “Demi Dzat yang telah memilih Musa di antara manusia lainnya.” Ungkapan sumpah ini membuat sahabat Nabi Muhammad itu marah. Ia menampar si Yahudi. “Kamu mengatakan ‘Demi Dzat yang telah memilih Musa di antara manusia lainnya’, sedang ada Nabi Muhammad SAW di tengah-tengah kita?,” ujarnya menambahkan.

“Orang Yahudi tersebut tak terima dengan perlakuan sahabat Nabi. Ia pun bergegas datang menemui Nabi Muhammad untuk melaporkan kejadian itu. Mendengar aduan itu, Nabi Muhammad marah dan mengatakan, “Janganlah kalian saling mengunggulkan Nabi yang satu dengan lainnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ustad Ikrom juga kembali menuturkan, tidak hanya saat perintah Allah SWT dilanggar, Nabi Muhammad juga marah bila umatnya tak segera melakukan kebaikan atau menangguhkan sesuatu yang seharusnya diutamakan.

Hal itu sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Jarir bin Abdullah yang mengisahkan, “Rasulullah SAW berkhutbah dan mendorong kami untuk bersodaqah. Namun orang-orang lamban sekali dalam melaksanakan dorongan itu, hingga terlihat raut kemarahan di wajah Nabi.”

Bila harus marah kepada seseorang, Nabi tak langsung menegurnya di depan umum. Nabi tak ingin menjatuhkan harga diri orang yang bersalah itu. Oleh karenanya, ketika ia melihat seseorang mengarahkan padangannya ke atas dalam salat dan hal itu dilarang, Nabi menegur perbuatan itu dengan bahasa yang umum. Nabi tidak menyebutkan nama orang yang melakukan hal itu, untuk menjaga perasaannya. Namun Nabi berkhutbah di depan para sahabat, kemudian menyampaikan, “Apa yang menyebabkan segolongan orang mengangkat pandangannya ke langit dalam salatnya?” (HR. Bukhari)

“Pertanyaan Nabi ini dalam retorika Arab disebut dengan istifham inkari, (bentuk pertanyaan untuk mengungkapkan pengingkaran terhadap sesuatu, red). Dalam teguran ini, Nabi Muhammad tak menyebut nama orang yang berbuat salah di depan umum,” terang Ustad Ikrom

“Saat marah, Nabi juga tak ‘bermain tangan’ atau menyakiti fisik. Dalam kesaksian sang istri tercinta Aisyah, Nabi tak pernah sekalipun memukul wanita atau pembantu. Bahkan, ia tak pernah memukul apapun, kecuali jika sedang berjihad.” (HR. Muslim)

Aisyah menambahkan, Nabi tak pernah membalas dendam pada hal yang ditujukan pada dirinya, kecuali bila kehormatan Allah yang dilanggar.

“Benang merah yang dapat kita simpulkan dari beberapa kisah singkat tersebut, Rasulullah itu bergaul dengan akal, bukan hanya dengan sepengetahuan, atau bahkan perasaannya belaka,” lanjut Ustad Ikrom menutup pembicaraan. Bersambung….

Artikel ini ditulis oleh: