Muhammad Ainun Nadjib - Aksi Bela Islam 4 November 2016. (ilustrasi/aktual.com)
Muhammad Ainun Nadjib - Aksi Bela Islam 4 November 2016. (ilustrasi/aktual.com)

Yogyakarta, Aktual.com – Andai kalah di satu pertempuran, tidak akan mengagetkan pasukan yang bersiap menjalani peperangan yang panjang. Rakaat pertama yang umpamanya kurang utuh, pasti mendorong rakaat-rakaat berikutnya jadi lebih utuh dan khusyu. Umat Islam Indonesia tidak memuncakkan perjuangannya pada 4 November 2016 kemarin, sebab mereka menata nafas untuk ‘Jurus Rakaat Panjang’ dalam sejarahnya yang penuh tantangan, ancaman dan penderitaan.

Selama ini saya diberi gambaran bahwa pasca pemecah-belahan Uni Sovyet, Balkanisasi dan Arab Spring, sekarang ada formasi baru persekongkolan internasional yang bekerja keras dan sangat strategis untuk menghancurkan Islam dan Indonesia. Kemudian agak lebih mengarah: merampok kekayaan negara Indonesia, dengan cara memecah belah bangsa Indonesia dan utamanya umat Islam.

Sekarang tampaknya semakin terlihat penggambaran baru yang lebih spesifik dan akurat, yakni NKRI bukan akan dihancurkan, melainkan dimakmurkan, tetapi bukan untuk rakyat Indonesia.

Kedaulatan politik, bangunan konstitusi, pasal-pasal hukum, tanah dan modal, alat-alat produksi, serta berbagai perangkat kehidupan dan penghidupan, tidak lagi berada di tangan kedaulatan bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia tetap dikasih makan dan bisa ikut kecipratan sedikit kemakmuran, asalkan rela menjadi pembantu rumah tangga, karyawan, kuli, khadam dan jongos yang setia dan patuh kepada penguasa baru NKRI, yang merupakan kongsi dari dua adidaya dunia.

Syuraqoh, alias keserakahan, diteknokrasi sedemikian rupa. Sukar saya hindari penglihatan bahwa yang paling sengsara di antara bangsa dan rakyat Indonesia adalah umat Islam, karena mereka didera dua penjajahan. Di samping ada paket penguasaan atas NKRI, terdapat juga desain untuk mendevaliditasi Islam di kalangan pemeluknya.

Ini berposisi sebagai cara atau strategi penguasaan NKRI, maupun sebagai tujuan itu sendiri untuk memaksimalkan deislamisasi kehidupan bangsa Indonesia. NKRI tidak boleh menjadi negara Islam, artinya boleh menjadi negara agama selain Islam.

Hampir selama 40 tahun, intensif 20-an tahun belakangan, saya keliling jumpa rakyat rata-rata 10.000 orang per minggu, untuk ikut memelihara ke-Indonesiaan, keutuhan NKRI, persatuan dan kesatuan antar golongan apapun yang dinding-dindingnya mungkin etnik, agama, parpol, madzhab, aliran, muara-muara kepentingan, segmen-segmen dan level. Agenda saya adalah membesarkan hati mereka, merabuki optimisme penghidupan dan keyakinan akan masa depan mereka.

Kalau orang bilang pluralisme, mereka saya himpun dan ayomi sebagai semacam keindahan orkestrasi. Kalau disebut toleransi, saya carikan formula, aransemen, modulasi sosial untuk puzzling dan saling paham atas batas-batas di tengah kemerdekaan.

Kalau ada kelompok terlibat bentrok dengan lainnya, saya disuruh menambal dan menyatukan kembali. Kalau ada yang diserbu, saya ditugasi menyiapkan segala sesuatu untuk melindungi dan menampung. Saya minta kepada Tuhan agar dianugerahi ilmu untuk menemani rakyat, agar berada dalam keseimbangan hubungan, meracik skala prioritas dan tata-etika untuk disepakati, dengan menomorsatukan keutuhan kemanusiaan dan kebangsaan.

Saya ditarik untuk menemani mereka mencari solusi-solusi dalam rembug pengetahuan atau diskusi ilmu dan kasih sayang, minimal 5 jam, bahkan sering berlangsung hingga dihentikan oleh subuh.

Akan tetapi, saya dan kami semua diam-diam ditikam dari belakang. Kami dimunafiki, bilangnya satu dalam perbedaan, tapi diam-diam di belakang punggung menciptakan pecahan-pecahan, menanam perilaku yang menimbulkan amarah, kebencian, permusuhan dan dendam.

Saya mengajak kaum Muslimin untuk “la ikroha fiddin” dan memahami metoda-metoda tasammuh atau toleransi, untuk secara rasional menata ke-Indonesiaan. Tetapi diam-diam kaum Muslimin digerogoti dari belakang, pergerakan-pergerakan sangat taktis dan strategis dari upaya-upaya deislamisasi penduduk kampung-kampung, deislamisasi Keraton, hingga deislamisasi pemerintahan nasional, dengan plan dan timeline yang seksama, sangat kentara, bahkan terang-terangan dengan arogansi dan keculasan.

Bahkan, kaum Muslimin dicuci otaknya secara nasional untuk mempercayai bahwa demokrasi tetap gagal selama pemimpin nasionalnya berasal dari mayoritas. Demokrasi tercapai sempurna kalau pucuk pimpinannya adalah tokoh minoritas. Kalau mayoritas berkuasa itu artinya diktator mayoritas dan intoleransi. Kalau minoritas berkuasa itu maknanya demokrasi dan keadilan. Kalau orang Islam dibunuh, itu perjuangan melawan radikalisme dan fasisme. Kehancuran Islam adalah tegaknya keadilan dunia dan berkibarnya demokrasi.

Penguasaan atas kaum Muslimin dilakukan atas dasar subyektivitisme ras dan agama para pelakunya, kalau kaum Muslimin menolaknya dituduh rasis dan pelaku SARA. Umat Islam dipaksa untuk menerima kehendak kekuasaan, dan kalau menolak mereka disebut memaksakan kehendak. Umat Islam diinjak, kalau bereaksi dituduh tidak toleran, anarkis dan radikal.

Sebenarnya selama puluhan tahun terakhir, proses pengikisan hak milik, penjebolan kedaulatan dan penguasaan harta benda Ibu Pertiwi, juga pencurangan cara berpikir tentang mayoritas-minoritas seperti itu sudah berlangsung. Tetapi kemudian, sukar saya elakkan pandangan, bahwa melalui rekayasa penyelenggaraan kepengurusan yang baru atas institusi negara, dengan tiga tajaman di ujung trisula politiknya, serta pendayagunaan seluruh perangkat lembaga pengelolaan itu, termasuk kerjasama proaktif dengan media-media informasi tertentu, pun jangan lupa sebagian tokoh dan institusi atau organisasi Islam tertentu yang dipekerjakan: hal itu dipacu maksimal dan total.

Sampai tanah air Ibu Pertiwi Indonesia bukan lagi milik pribumi asli Indonesia. Dari kursi nomor satu di puncak kuasa hingga sejengkal tanah di pelosok desa, akan berangsur-angsur menjadi bukan lagi milik rakyat Indonesia.

Logika normalnya, siapa menolak kenyataan itu, akan hanya tersisa tempat untuk menjadi gelandangan di kampung sendiri. Dan kalau memberontak, akan dibunuh dengan berbagai jenis dan kadar pembunuhan. Kalau pemberontakannya sangat merepotkan, maka harus dimusnahkan.

Rakyat Indonesia dikelabuhi secara intelektual, dininabobo secara mental, ditipudaya secara politik dan hukum, ditelikung secara ideologi, dikanak-kanakkan melalui tayangan-tayangan, disesatkan pengetahuannya, dikebiri keksatriaannya, serta ditidak-seimbangkan cara pandang kehidupannya.

Para ilmuwan, aktivis atau para tradisionalis penghitung sejarah dipersilahkan menjelaskan bebendu sejarah yang sedang deras dilangsungkan itu melalui tema perang Asia Pasifik, perang asimetris, Ku Bilai Khan seri-II, manifestasi Dajjal yang “mensurgakan neraka dan menerakakan surga”, kulit dan mata Ya’juj Ma’juj, “wong jowo gari separo cino londo gari sakjodho”, tafsir baru 500 tahun Sabdopalon Noyogenggong, atau apapun. Yang pasti rakyat asli Nusantara Indonesia sedang dikurung oleh perampokan dan penjajahan besar-besaran, di mana mereka belum 10% menyadarinya.

Kalau para pejuang kebenaran 411 tidak memperoleh goal yang dimaksudkannya pada ‘pertempuran awal’, tidak boleh kaget dan malah perlu introspeksi total. Misalnya, karena medan perang dan sasaran tembaknya dipersempit menjadi hanya Al-Maidah 51, yang di dalam ketersediaan pasal pidana tidak sukar untuk di-syubhat-kan.

Tidak ada tonjokan tentang kasus-kasus korupsi, reklamasi, atau penyiapan Jakarta untuk pilot project desain penjajahan nasional. Lebih 90% kejahatan manusia tidak selalu bisa dijangkau oleh hukum, ketidak-berbudayaan dalam memimpin, ‘hawa’ negatif eksistensinya, kejinya ucapan, brutalnya tindakan, aura dan nuansa kebenciannya kepada Islam, dan seterusnya.

Pejuang 411 terfokus pada setitik hilir dan belum menemukan determinasi terhadap hulunya yang dahsyat. Juga para pejuang 411 tidak tepat untuk meneruskan himbauan atau desakan kepada para pelaku sistem kekuasaan, institusi, pejabat pemerintahan atau atasan-atasan, agar turut menembak sasaran yang mereka tembak. Sebab harus berjaga-jaga siapa tahu mereka semua adalah bagian dari suatu formasi kekuatan yang justru bertugas menjaga jangan sampai sasaran itu kena tembak.

Umat Islam perlu melakukan ke dalam dirinya sendiri (Islam dan kaum Muslimin) muhasabah komprehensif. Kaum Muslimin tidak bisa menunda waktu lagi untuk lebih mengislamkan dirinya, sebab itulah modal paling kuat untuk mempertahankan Indonesia. Kaum Muslimin di setiap titik harus menyelenggarakan tahqiqi keislaman sampai ke anak-anak dan cucu-cucu mereka. Menyusun tradisi budaya kependidikan Ta’limul Islam, Tafhimul Islam, Ta’riful Islam, Tarbiyatul Islam hingga tertradisikan Ta`dibul Islam.

Setiap lingkaran Muslimin memastikan perkumpulan yang berlatih bersama untuk tidak ditimpa kemalasan berpikir, berpuasa dari egosentrisme kelompok, melawan tradisi amarah, atau memasrahkan persoalan-persoalan kepada para pemimpin, padahal pada saat yang sama sesungguhnya mereka tidak benar-benar percaya kepada pemimpin.

Umat Islam tidak perlu melemahkan dirinya terus menerus dengan khilafiyah dan ikhtilafiyah, apalagi dengan tema-tema furuíyah. Aliran-aliran (produk tafsir) keislaman tidak bisa mengelak lagi untuk mulai duduk bersama, ber-majlis-fatwa bersama, memandu umat mereka berhimpun dan bersatu di dalam kebijakan sejarah “wa amruhum syuro bainahum”. Mengkonsistenkan keseimbangan berpikir, keadilan sikap, cerdas kapan hitam-putih kapan warna-warni, serta memastikan bahwa umat Islam tidak dipersatukan oleh kebencian bersama kepada pihak yang memusuhi mereka.

Melainkan berukhuwah sejati karena iman kepada Allah, cinta kepada Kanjeng Nabi dan penjunjungan kepada Al-Qur`an yang Allah sendiripun Maha Bekerja untuk menjaganya.

Termasuk tidak membiarkan kebiasaan mudah kagum, gampang terhanyut, mentakhayulkan idola, Satrio Piningit, Ratu Adil, atau bahkan Imam Mahdi, tanpa mengelaborasinya dengan akal sehat dan rahasia firman. Syukur akhirnya Allah menghidayahi umat Islam untuk memiliki keridlaan sebagai “ummatan wahidah”, umat yang satu dan selalu menyatu. Dengan kepemimpinan yang juga satu, yang Allah sendiri Maha Pengangkat dan Pelantiknya. Mohon mafhum ini bukan gagasan tentang Imamah.

Salah satu modal kaum Muslimin adalah mereka yang memusuhinya beranggapan dan meyakini, bahwa berdasarkan teori peperangan: kaum Muslimin Indonesia kalah hampir di semua segi. Modalnya, pengorganisasiannya, kohesi keumatannya, mesiunya, penguasaan medan dan cuacanya, soliditas pasukan-pasukannya yang jahr maupun yang sirr. Mereka juga menyangka bahwa ‘hizbullah 4Nov’ adalah gambaran maksimal kekuatan kaum Muslimin.

Ada sejumlah dimensi, kekuatan, aura, energi, probabilitas “min haitsu la yahtasib”, immanensi “inna nahnu nazzalnadzdzikro wa inna lahu lahafidhun”, rahasia “wamakaru wamakarallah wallahu khoirul makirin” dan seterusnya yang semua penguasa di dunia sejak zaman Nabi Nuh hingga Abrahah serta para adikuasa abad-abad mutakhir, tidak pernah serius memperhitungkannya.

Apalagi, untuk konteks Nusantara Penggalan Surga dengan sejarah tanah liat dan Tapel, dengan Iblis Smarabhumi dan Izroil, yang dianggap klenik dan khoyal, sehingga akan membuat mereka salah sangka di ujung penjajahannya atas tanah berkah ini. Fa’álul-lima Yurid, Allah Maha Bekerja mewujudkan kehendakNya.

Saya sendiri, bersama saudara-saudara yang bersama saya, hanyalah manusia, sehingga lemah dan tak berdaya. Yang Maha Kuat dan Maha Berdaya adalah Allah SWT. Dan dengan segala ketidakberdayaan itu saya sudah berkali-kali membisikkan ke telinga para syuraqoh penindas manusia dan penganiaya nilai-nilai hakiki Tuhan yang hari-hari ini sedang berbuat adigang-adigung-adiguna di Tanah Air Indonesia: “Tolong dipikir ulang, agar tidak menyesal kemudian.”

Ke mana-manapun berpuluh tahun saya menghimpun para pecinta Allah, berupaya menambah jumlah hamba-hamba agar dicintai Allah, “mengelola arus positif dan negatif menjadi cahaya”. Saya sedih oleh permusuhan, selalu menikmati persaudaraan dengan semua makhluk Tuhan, dan saya tidak bahagia harus bersiap untuk kemungkinan lainnya.

Oleh: Muhammad Ainun Nadjib – Tokoh Agama

dikutip dari laman berikut.

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis
Eka