Menteri Keuangan Sri Mulyani mempertanyakan efektivitas penggunaan anggaran dana desa oleh pemerintah daerah dan pejabat desa. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah terus berupaya meyakinkan semua pihak bahwa pembangunan infrastruktur tidak mengganggu stabilitas keuangan negara dan kondisi ekonomi masih mampu ditangani secara terkendali.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani menjelaskan pembangunan infrastruktur merupakan hal yang penting bagi pemerintah dalam rangka mendorong kemampuan Indonesia untuk bersaing di era global.

“Kebutuhan akan infrastruktur bukan sesuatu yang menjadi kemewahan tapi menjadi suatu keharusan,” kata Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Jumat (20/10).

“Dalam indeks infrastruktur di dunia, Indonesia termasuk negara yang memiliki infrastruktur gap di bawah rata-rata income per kapita yang sama, kalau Jokowi bangun banyak infrastruktur itu bukan kehobian, bukan karena kemewahan tapi itu adalah untuk menciptakan suatu connectivity, baik secara fisik, politik, maupun dari sisi ekonomi,” ungkap dia.

Sebagai informasi, dengan keterbatasan dana APBN, pemerintah gencar mencari sumber dana lain, yakni salah satunya gencar menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) baik yang konvensional (SBN) atau syariah (SBSN). Tercatat hingga akhir September total utang pemerintah meningkatkan Rp3.866,45 triliun.

“Per akhir September 2017, total utang pemerintah pusat tercatat mencapai Rp3.866,45 triliun. Atau dalam sebulan, utang ini naik Rp40,66 triliun, dibandingkan jumlah di Agustus 2017 yang sebesar Rp3.825,79 triliun,” dikutip dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Kamis (19/10).

Sementara jika dilihat dari rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), utang pemerintah hingga 2017 memang masih di bawah 30 persen. Namun dari tahun ke tahun trennya terus meningkat, terutama di era pemerintah Jokowi-JK ini.

Berikut rincian utang pemerintah pusat terhadap PDB sejak tahun 2000:

Tahun 2000: Rp1.234,28 triliun (89%),

Tahun 2001: Rp1.273,18 triliun (77%),

Tahun 2002: Rp1.225,15 triliun (67%),

Tahun 2003: Rp1.232,5 triliun (61%),

Tahun 2004: Rp1.299,5 triliun (57%),

Tahun 2005: Rp1.313,5 triliun (47%),

Tahun 2006: Rp1.302,16 triliun (39%),

Tahun 2007: Rp1.389,41 triliun (35%),

Tahun 2008: Rp1.636,74 triliun (33%),

Tahun 2009: Rp1.590,66 triliun (28%),

Tahun 2010: Rp1.676,15 triliun (26%),

Tahun 2011: Rp1.803,49 triliun (25%),

Tahun 2012: Rp1.975,42 triliun (27,3%),

Tahun 2013: Rp2.371,39 triliun (28,7%),

Tahun 2014: Rp2.604,93 triliun (25,9%),

Tahun 2015: Rp3.098,64 triliun (26,8%),

Tahun 2016: Rp3.466,96 triliun (27,9%).

Oleh karena utang membengkak, pemerintah mecari berbagai potensi yang mampu membantu penerimaan negara untuk membayar bunga untang dan belanja negara. Salah satu langka yang ditempuh pemerintah melalui Menteri Keuangan dengan cara pengetatan sektor pajak.

Bahkan pemerintah telah memutuskan untuk mengintip tabungan nasabah pada bank, yang mana dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan, tabungan Rp1 miliar keatas ditetapkan kena batas pajak.

Jauh daripada itu, baru – baru ini pemerintah juga telah memutuskan kenaikan cukai rokok sebesar 10,04%, yang akan berlaku mulai 1 Januari 2018 mendatang.

Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Dadangsah Dapunta
Editor: Arbie Marwan