Kenyataan untuk Indonesia lepas dari jeritan utang nampaknya tak akan pernah terealisasi. Belum selesai dengan utang yang lama, pemerintah justru menambah utang yang baru. Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui postur sementara belanja negara dalam Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2019.
Dalam rapat disetujui nilai belanja sebesar Rp2.462,3 triliun sedangkan untuk pendapatan negara Rp2.165,1 triliun. Besarnya angka defisit anggaran adalah Rp297,2 triliun atau 1,84% dari produk domestik bruto (PDB). Untuk membiayai defisit, pemerintah akan menarik utang sebesar Rp359,4 triliun.
Dari total utang, sebesar Rp398,1 triliun utang akan ditarik lewat surat utang. Angka ini lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya. Lalu untuk pembayaran pembiayaan investasi Rp74,9 triliun dan pembayaran utang Rp2,4 triliun. Pemerintah juga mesti berutang untuk membayar cicilan utang karena keseimbangan primer dalam RAPBN 2019 tercatat negatif Rp21,3 triliun.
Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia Didik J Rachbini dalam sebuah seminar pada awal bulan ini menyoroti utang luar negeri Indonesia ibarat malaikat pencabut nyawa.
“Mungkin tidak disadari saya anggap ini persoalan leadership di bidang ekonomi. Ini problem sekarang utang jatuh tempo tahun ini, itu (cicilan) pokoknya kira-kira hampir Rp400 triliun. Utang yang bunganya harus dibayar itu kira-kira Rp246 atau Rp250 triliun, total kalau mau bayar Rp640 triliun,” katanya Rabu (3/10/2018) di Gedung Nusantara, DPR RI, Jakarta Selatan.
Namun pemerintah selalu menganggap utang Indonesia masih dalam batas wajar jika melihat selisih antara debt to service ratio (DSR) alias rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB/GDP). “Kalau menghitung hanya utang pemerintah itu tidak fair, dan karena itu kalau pemerintah dikritik soal utang ‘oh nggak apa, itu cuma 30% (terhadap GDP)’,” ujar Didik.
Tapi Didik menilai rasio utang yang jadi acuan pemerintah hanya utang pemerintah. Padahal ada utang swasta yang juga harus dihitung. “Hanya mengatakan debt service ratio utang pemerintah saja tidak fair karena GDP bukan hanya pemerintah tapi juga ekonomi secara keseluruhan. Jadi ini 60% kalau mau dihitung (rasio utang terhadap PDB),” paparnya.
Belum lagi jika utang-utang BUMN ikut dimasukkan dalam perhitungan. Yang pasti rasio utang terhadap PDB akan lebih besar. “Sekarang utang BUMN sudah mulai membesar dan akan mendekati Rp1.000 triliun. Utang ini pencabut nyawa,” tambahnya.
Penjelasan Pemerintah Soal Utang Menyesatkan
halaman selanjutnya…