Ekonom Senior Ichsanuddin Noorsy mengomentari terkait utang dan kondisi ekonomi Indonesia. Menurutnya setuju atau tidak, suka atau tidak, fakta defisit transaksi berjalan, defisit neraca pembayaran, defisit APBN dan defisit keseimbangan primer menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan banyak dolar AS. Karena dolar AS pergi keluar, maka dibutuhkan lebih banyak rupiah untuk membelinya.

Padahal kemampuan membelinya terbatas disebabkan secara struktural perekonomian domestik Indonesia tidak didominasi oleh domestik. Ini bedanya dengan Jepang, yang walaupun pertumbuhan ekonomi kecil, tapi kokoh (slow but steady).

Permintaan dolar AS yang lebih tinggi dibanding pasokannya itu yang akhirnya melahirkan keseimbangan baru : rupiah bergerak di atas Rp15.000 per USD1. Dalam posisi demikian, jika pada 2017 kita punya uang Rp1,5 juta sama dengan USD112 (pembulatan USD111,9), maka kini uang menjadi USD98,7.

Artinya terjadi selisih kurang sebesar USD13,3 (USD112 dikurangi USD98,7). Jika ada selisih kurang, maka pasti ada selisih lebih, yakni sebesar USD13,3. Siapa yang menikmati selisih lebih itu sementara kita adalah pihak yang menderita selisih kurang?

Jika mundur sejak 1968 dengan USD1 = Rp250, maka uang Rp1,5 juta sama dengan USD6.000, saat ini menjadi USD112. Jadi selama 50 tahun ini kekayaan menciut sebesar 6.000 dibagi 112 sama dengan 5.357,14 persen. Apakah penciutan nilai tukar ini merupakan hasil tamparan atau sanjungan atas kebijakan perekonomian yang dipilih dan diterapkan?

Lagi-lagi responnya positif karena akan ada investasi sebesar Rp202 triliun dan pinjaman untuk pembangunan kembali di Lombok dan Sulteng karena bencana Rp15,2 T (USD1 miliar) ditambah hibah –yang akan kembali ke mereka— USD5 juta. Maka penciutan rupiah terhenti sejenak di tengah tegaknya sistem tidak ada makan siang gratis.

Lalu dengan tetap melanggengnya sistem itu pada bangsa dan negara ini, dan layunya kritik The Game of Thrones karena rancu pemahaman, bagaimana rakyat harus menerima sanjungan “keberhasilan” kebijakan ekonomi Indonesia?

 

Oleh: Arbie Marwan