Jakarta, Aktual.com – Jelang Pilwali Surabaya 9 Desember nanti, Surabaya Survey Center (SSC) menemukan hal positif bahwa warga Surabaya sudah mulai anti atau menolak adanya politik uang dalam proses demokrasi.

Program kerja Pasangan calon (Paslon) yang ingin naik atau dipilih sebagai kepala daerah, menjadi faktor penentu bagi warga Surabaya, bahkan bukan tidak mungkin, dapat mengubah pilihan politik seseorang.

Terkait politik uang, peneliti senior SSC, Didik Sugeng, mengungkapkan, jika dari hasil penelitian yang dilakukan menghasilkan informasi jika masyarakat Surabaya sudah mulai anti politik uang.

“39 persen responden memastikan diri tidak akan menerima uang dan tidak memilih si pemberi. Ada pula 8.9 persen responden yang memilih menerima uangnya namun tidak memilih si pemberi. Ada pula 28 persen responden lain yang memilih menerima uang tapi tidak akan mengubah pilihan awalnya,” kata Didik dalam keterangan resmi hasil survei SSC yang diterima RRI, Kamis (3/12).

Meski demikian, akademisi Unitomo ini juga mengutarakan, jika masih ada masyarakat Surabaya yang pilihannya dapat dipengaruhi uang.

“Ada 10.4 persen yang mengaku mau menerima uang dan memilih si pemberi. Lalu ada 3.8 persen yang mau menerima uang dan memilih yang memberi lebih besar. Sementara, 9.9 persen lainnya memilih tidak tahu atau tidak menjawab,” pungkas Didik.

Sementara itu, Direktur Riset SSC, Edy Marzuki, mengungkapkan, ada beberapa faktor yang menurut responden menjadi pengubah pilihan mereka di Pilwali Surabaya.

“Yang berada di posisi puncak itu adalah program kerja atau visi misi. Dipilih oleh 36.2 persen. Diikuti dengan uang/sembako 9.1 persen, pemberitaan media 8.8 persen, pertemuan langsung dengan kandidat 8.2 persen, debat kandidat 6.5 persen, medsos 5.5 persen,” paparnya.

“Lalu RT/RW 4.8 persen, keluarga 4.3 persen, teman 3 persen, tokoh agama 2.7 persen, lurah/camat 1.9 persen, lainnya 1 persen, dan 8 persen memilih tidak menjawab atau tidak tahu,” pungkas Edy.

Hasil survei yang didapati, berkaitan erat pula dengan temuan berikutnya, bahwa siapa calon kepala daerah yang diajukan ke masyarakat, dapat menentukan pilihan mereka.

Didik Sugeng Widiarto mengatakan, hampir seluruh responden menganggap jika calon wali kota adalah figur penentu pilihan terkait Pilwali Surabaya.

“Hal itu diungkapkan oleh 78.2 persen responden. Kemudian 16.8 persen lainnya menganggap figur penentu pilihannya adalah calon wakil wali kota. Dan lima persen sisanya tidak tahu atau tidak menjawab,” ujar Didik.

Sebagai informasi, semua riset dilakukan SSC pada tanggal 19-24 November 2020 di 31 Kecamatan di Surabaya.

Responden yang digunakan sebanyak 880 orang.

Penelitian dilakukan dengan metode stratified multistage random sampling dengan margin of error lebih kurang 3.3 persen dan pada tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. (RRI)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Warto'i