Ferdi Tanoni (Foto : Istimewa)
Ferdi Tanoni (Foto : Istimewa)

Jakarta, Aktual.com – Tim hukum dari Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) sedang mempersiapkan gugatan terhadap Perjanjian Indonesia-Australia 1997 tentang ZEE dan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu di Laut Timor yang ditandatangani pada 14 Maret 1997 di Perth, Australia Barat.

“Perjanjian yang ditandatangani oleh Menlu Ali Alatas dan Menlu Alexander Downer itu sangat merugikan rakyat Indonesia yang ada di Timor bagian barat Nusa Tenggara Timur, sehingga perlu digugat secara hukum,” kata Ketua YPTB Ferdi Tanoni kepada pers di Kupang (1/10).

Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Australia itu mengatakan perjanjian 1997 itu sampai sekarang belum diratifikasi oleh parlemen kedua negara, namun Australia telah menjadikannya sebagai senjata untuk memberangus nelayan-nelayan tradisional Indonesia yang mencari ikan dan biota laut lainnya di sekitar gugusan Pulau Pasir.

Gugusan Pulau Pasir yang kemudian dikenal dengan sebutan “ashmore reef” itu, kata peraih Civil Justice Award 2013 dari Aliansi Pengacara Australia itu, dikuasai secara sepihak oleh Australia dan menjadikannya sebagai cagar alam negeri Kanguru.

Sesuai dengan pasal 11 Perjanjian 1997, kata Tanoni, dengan tegas menyatakan bahwa “Perjanjian ini baru mulai berlaku pada saat pertukaran piagam-piagam ratifikasi”. Karena itu, tidak ada alasan bagi Australia untuk memberlakukannya, sehingga tim hukum dari YPTB memandang penting untuk menggugatnya di Pengadilan Indonesia, ujarnya.

Dalam pencermatan tim hukum YPTB, kata Tanoni, perjanjian RI-Australia 1997 patut dibatalkan, karena tidak sesuai dengan kelaziman internasional dimana sebuah perjanjian yang dibuat seharusnya memberi keuntungan bagi kedua belah pihak.

“Namun fakta membuktikan bahwa Perjanjian 1997 hanya menguntungkan Australia semata dan rakyat Indonesia hanya sebagai pelengkap penderita. Ini yang mendorong kami untuk menggugatnya,” katanya menambahkan.

Ia menambahkan tim hukum YPTB sedang melakukan konsolidasi untuk menentukan Pengadilan di Indonesia yang dinilai tepat untuk menyidangkan kasus gugatan tersebut.

“Yang pasti gugatan terhadap Perjanjian 1997 itu tidak dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK), karena Perjanjian RI-Australia tersebut belum dikategorikan sebuah produk UU,” kata Tanoni yang juga penulis buku “Skandal Laut Timor Sebuah Barter Politik-Ekonomi Canberra” itu. (ant)

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara