Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra

Jakarta, Aktual.com – Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yusril menggugat penjelasan Pasal 7 ayat 1 huruf b dalam UU tersebut.

Dalam Pasal 7 disebutkan:

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Sementara itu, penjelasan berbunyi:

Yang dimaksud dengan ‘Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat’ adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.

“Pernyataan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” demikian permohonan PBB yang dilansir oleh situs web MK pada Minggu (26/11/2023).

Yusril berpendapat bahwa keberadaan Ketetapan MPR yang bercorak pengaturan itu dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia pernah menjadi penyelamat saat krisis konstitusional, yaitu:

Pertama, MPRS membuat Ketetapan yang melarang berkembangnya paham Marxisme dan Leninisme setelah pemberontakan G30S/PKI pada 1965, setelah sebelumnya Pengemban Supersemar Jenderal Soeharto membubarkan PKI pada 3 Maret 1966.

Kedua, MPRS mengeluarkan Ketetapan yang bersifat menggemparkan untuk menetapkan Pengemban Supersemar sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia setelah Presiden Sukarno diberhentikan oleh MPRS pada 1967.

Ketiga, MPR membuat ketetapan tentang pertanggungjawaban presiden melalui memorandum I dan II yang dapat memberhentikan presiden dari jabatannya. Ketetapan ini membuat pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid menjadi sah dan konstitusional.

Keempat, MPR membuat Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Berhalangan. Ketetapan ini dijadikan dasar untuk berhentinya Presiden Soeharto dari jabatannya dan pengambilan sumpah jabatan Presiden BJ Habibie di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung, ketika MPR dalam keadaan tidak dapat bersidang akibat krisis moneter pada 1998.

“Ketetapan ini membuat berhentinya Presiden Soeharto dan pengambilan sumpah Wakil Presiden BJ Habibie sebagai penggantinya menjadi sah dan konstitusional,” papar Yusril.

Yusril berpendapat bahwa dengan dilakukannya amendemen terhadap pasal-pasal yang mengatur keberadaan MPR di dalam UUD 1945 serta dihapuskannya Penjelasan sebagai bagian yang tidak terpisahkan undang-undang dasar tersebut, maka telah terjadi perubahan yang mendasar dari MPR sebagai satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat dan merupakan ‘lembaga tertinggi negara’.

Gugatan tersebut masih dalam tahap persidangan di MK. Salah satu ahli yang dihadirkan adalah mantan Panitia Ad Hoc I BP MPR RI Jacob Tobing.

Dalam sidang, Jacob Tobing menyatakan bahwa keinginan Yusril untuk mengembalikan kewenangan MPR untuk menetapkan Ketetapan MPR yang bersifat mengatur tidak bisa dipahami hanya sebagai aturan konstitusi yang berdiri sendiri.

“Kewenangan itu akan merombak seluruh sistem, paling tidak akan menimbulkan kerancuan,” ujar Jacob.

Dia menjelaskan bahwa dalam UUD 1945, tidak ada kewenangan MPR untuk membentuk Ketetapan MPR sebagai produk hukum yang bersifat mengatur. Dia mengatakan hal tersebut jelas tidak disebutkan dalam UUD 1945.

“Jelas seluruh pasal UUD 1945 dari pasal 1 sampai dengan pasal 37 dan juga seluruh ketentuan pasal-pasal peralihan dan aturan tambahan tidak ada kewenangan MPR untuk membentuk Ketetapan MPR sebagai produk hukum yang bersifat mengatur atau regeling,” tutur Jacob.

Jacob menjelaskan, terdapat Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan. Selanjutnya, Pasal 12 UUD 1945 menyatakan bahwa presiden memegang kewenangan untuk menyatakan keadaan bahaya. Mengacu pada Pasal 10 UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara, presiden dapat mengambil langkah-langkah efektif yang diperlukan dengan segera.

Selain itu, jika presiden berhalangan tetap dan/atau tidak dapat melakukan kewajibannya, terdapat Pasal 8 ayat 1 UUD 1945 yang mencegah terjadinya kekosongan kekuasaan. Ketentuan tersebut mengatur bahwa presiden dapat digantikan wakil presiden sampai habis masa jabatannya.

“Dengan demikian, pada waktu krisis kekuasaan itu bisa dipusatkan pada satu orang presiden, dan oleh karena itu pengambilan langkah awal yang diperlukan untuk mengatasi keadaan krisis dapat lebih efektif daripada jika langkah tanggap cepat itu harus diambil melalui rapat lintas berbagai lembaga instansi,” jelas Jacob.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Sandi Setyawan

Tinggalkan Balasan