Jakarta, Aktual.com – Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum Syafruddin Arsyad Temenggung menyatakan bahwa terjadi “error in persona” terkait kasus yang menjerat kliennya itu dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Yusril, seperti dinukil dari RMOL di Jakarta, Rabu (18/4), menyebut seharusnya Menteri Keuangan tahun 2007 Sri Mulyani Indrawati dan PT PPA (PT. Perusahaan Pengelolaan Aset) yang bertanggung jawab atas kerugian negara sebesar Rp4,58 triliun.

“Jadi, tuntutan terhadap Syafruddin ini “eror in persona” jadi salah orang sebenarnya, karena ini sangat penting diketahui oleh masyarakat ya yang seharusnya dibawa ke pemeriksaan, tahanan dan ke penuntutan bukan beliau, bukan Pak Syafruddin Temenggung ini,” kata Yusril di Gedung KPK Jakarta, Rabu.

Yusril beralasan, kliennya sudah menjalankan tugasnya dengan baik sebagai kepala Badan Perbankan Penyehatan Nasional (BPPN).

Ia juga menyebut kliennya itu menjalankan segala tanggung jawabnya sesuai dengan keputusan dari Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada waktu itu.

Begitu pula Sjamsul Nursalim selaku stakeholder Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) sudah melakukan segala kewajibannya untuk melunasi sangkutan.

Namun karena BPPN bubar pada tahun 2004 akhirnya kewajiban, tugas serta hak tagih dilimpahkan kepada Kementerian Keuangan. Dimana saat itu diterima oleh Menteri Keuangan yang menjabat yakni Boediono.

“Yang menerima Menkeu tahun 2004. Jadi tahun 2004 hak tagih yang 4,8 Triliun itu diserahkan dari BPPN kepada Depkeu, dan diterima oleh Menkeu pada waktu itu tahun 2004. Kemudian BPPNnya bubar. Sampai di situ nggak ada kerugian apa-apa,” ujarnya.

Lebih lanjut Yusril menjelaskan bahwa kerugian negara disebabkan keputusan Menteri Keuangan tahun 2007, Sri Mulyani menjual hak tagih dengan harga yang sangat rendah.

“Tahun 2007 hak tagih itu dijual oleh Menkeu dan PT PPA. Dijual PT PPA, tentu dengan persetujuan Menkeu ya kan. Dijual dengan harga 220 miliar. Jadi terjadi kerugian negara 4,8 Triliun dikurangi 220 Miliar,” lanjutnya.

KPK telah menetapkan Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka pada April 2017.

Adapun tindak pidana korupsi oleh Syafruddin terkait pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

SKL itu diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjarajakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses litigasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Dalam perkembangannya, berdasarkan audit investigatif BPK RI, kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL terhadap BDNI menjadi Rp4,58 triliun.

KPK telah menerima hasil audit investigatif itu tertanggal 25 Agustus 2017 yang dilakukan BPK terkait perhitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

Dari laporan tersebut nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun.

Dari hasil audit investigatif BPK itu disimpulkan adanya indikasi penyimpangan dalam pemberian SKL pada BDNI, yaitu SKL tetap diberikan walaupun belum menyelesaikan kewajiban atas secara keseluruhan.

Nilai Rp4,8 triliun itu terdiri atas Rp1,1 triliun yang dinilai “sustainable” dan ditagihkan kepada petani tambak. Sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi yang menjadi kewajiban obligor yang belum ditagihkan

Artikel ini ditulis oleh: