Sejumlah direksi dan komisaris dan investor saat menunggu proses pembukaan perdagangan dan pencatatan saham PT Mitra Komunikasi Nusantara, di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (26/10). Perusahaan dalam bidang perdagangan telepon seluler, gadget dan pulsa telepon elektronik tersebut melepas 20% sahamnya kepada publik melalui BEI dengan harga Rp200 per lembar. AKTUAL/EKO S HILMAN

Jakarta, Aktual.com — Bursa Efek Indonesia (BEI) menyambut baik keinginan para perusahaan properti yang tergabung dalam Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI) untuk melakukan kontrak investasi kolektif (KIK) dana investasi real estate (DIRE). Makanya belum lama ini REI berkunjung ke BEI untuk memperdalam produk investasi ini.

Menurut Direktur Penilaian BEI, Samsul Hidayat, pertemuan beberapa hari lalu dengan REI untuk merealisasikan kerjasama antara Bursa dengan REI. Langkah ini dilakukan agar lebih intense mensosialisasikan konsep DIRE kepada para pengembang dan pemilik property.

“Karena ini salah satu produk yang menarik baik bagi pengembang maupun investor. Sehingga nantinya, mereka dapat lebih meningkatkan pemahaman tentang DIRE ini,” tutur Samsul saat dihubungi Aktual.com, Selasa (19/1).

Menurut dia, pasar modal sendiri telah mengatur soal produk DIRE ini. Namun hinggs kini responnya sedikit. Baru ada satu emiten properti yang menerbitkan prpduk ini, yaitu DIRE Ciptadana Properti Rirel Indonesia dengan kode XCID pada 1 Agustus 2013.

Selama ini salah satu kendalanya karena dalam penerbitan DIRE berbentuk KIK di Indonesia yaitu terkait masalah perpajakan. “Untuk itu diperlukan insentif yang memungkinkan DIRE berbentuk KIK dapat menerbitkan unit penyertaan yang memberikan tingkat pengembalian menarik bagi investor,” tegas dia.

Sebelumnya kemarin (18/1), Wakil Ketua Umum REI Bidang Pasar Modal, Sammy Luntungan mengakui saat ini kendala utama untuk mengefektifkan transaksi melalui instrumen KIK-DIRE ada pada persoalan perpajakan. “Karena, pelaksanaan KIK-DIRE itu akan terjadi pengalihan aset properti yang akan dibeli oleh perusahaan publik,” ucap dia.

Menurut Sammy, pemerintah bisa menunda pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), agar bisa mengefektifkan transaksi di pasar modal melalui instrumen DIRE ini.

“Kami mengusulkan pemerintah bisa menunda BPHTB, supaya terjadi transaksi untuk KIK-DIRE,” kata Sammy.

Namun demikian, jelas dia, upaya mengoptimalkan KIK-DIRE masih terganjal besarnya Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 5 persen dan BPHTB yag juga 5 persen. “Perusahaan yang menjual dikenai PPh, sedangkan yang membeli dikenai BPHTB,” imbuhnya.

Sammy menegaskan, saat ini sudah ada rencana dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu untuk memangkas PPh KIK-DIRE menjadi 1 persen. “Kalau di Singapura, pajak ini hanya sebesar 3 persen,” jelas Sammy.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan