Jakarta, Aktual.com — Kejaksaan Agung terus mendalami dugaan korupsi tentang perjanjian kerjasama antara PT Hotel Indonesia Natour (BUMN) dengan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) anak usaha Djarum Group mencapai triliunan rupiah.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Arminsyah mengaku hingga kini terus memeriksa sejumlah saksi guna mencari pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam kasus tersebut.

“Kita penyidikannya dua minggu, sudah periksa 8 saksi dan 1 ahli. Yang kita panggil lebih dari itu,” katanya di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (8/3).

Dan untuk pemeriksaan hari ini, penyidik menjadwalkan lima orang saksi. Dari lima orang saksi dua diantaranya merupakan kontraktor.

“Hari ini rencana periksa lima orang, 2 dari kontraktor,” jelasnya.

Menurut dia, dengan diperiksanya kontraktor penyidik ingin ingin menelusuri kontraktor ini atas perintah siapa mengerjakan dua tower yakni menara BCA dan apartemen Kempinski.

“Di sana akan kita temukan orang yg paling bertanggungjawab atas pembangunan ini. Itu menara apartemen Kempinski dan perkantoran GI,” tutupnya.
Kejagung telah meningkatkan kasus ini ke penyidikan karena pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski di luar kontrak yang diteken antara BUMN PT Hotel Indonesia Natour dan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) group Djarum serta PT Grand Indonesia.

Adapun isi kontrak kerja sama yang diteken itu hanya menyebutkan pembangunan hotel bintang lima, pusat perbelanjaan I dan II, serta fasilitas parkir. Di dalam kontrak tidak menyepakati pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski.

Kerja sama tersebut menggunakan sistem Builtd, Operate, and Transfer (BOT) atau membangun, mengelola, dan menyerahkan. Ini merupakan bentuk hubungan kerja sama antara pemerintah dan swasta dalam rangka pembangunan suatu proyek infrastruktur.

Pada tahun 2004, PT Cipta Karya Bumi Indah telah membangun dan mengelola gedung Menara BCA dan Apartemen Kempinski yang tidak ada dalam perjanjian BOT antara kedua belah pihak.

Akibatnya, diduga tidak diterimanya bagi hasil yang seimbang atau tidak diterimanya pendapatan dari operasional pemanfaatan kedua bangunan tersebut, sehingga mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 1.290.000.000.000 (Rp 1,2 trilyun).

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby