Seorang pejalan kaki melintasi papan sosialisasi pembayaran pajak secara online di Jakarta, Selasa (1/3). Direktorat Jenderal Pajak membuat peta zona potensial pajak untuk mencapai target penerimaan pajak sebesar Rp1.360,1 triliun pada 2016. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/ama/16

Jakarta, Aktual.com — Manusia tak ubahnya sebatas makhluk sosial yang saling membutuhkan sesama. Semandiri apapun manusianya pasti akan butuh dengan bantuan lainnya. Maka dari itu, eksistensi agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW bukan sebatas mengajarkan keyakinan (aqidah) dan ibadah. Tetapi mengajarkan pula betapa pentingnya bermu’amalah dengan sesama makhluk-NYA. Dengan kata lain sering dibahasakan dengan bersosialisasi.

Demikian yang di ucapkan oleh Ustad Ahmad Nuril Farihin kepada Aktual.com di Ciputat, Tanggerang Selatan, Jumat (27/5) saat ia ditanya mengenai cara Rasulullah SAW bersosialisasi. Karena kita sebagai umat Islam mengetahui bahwasanya Rasulullah SAW dalam kesehariannya beliau selalu mengajarkan secara tidak langsung kepada para sahabatnya cara bersosialisasi.

“Betapa tidak, sosialisasi sangat ditekankan oleh Rasulullah SAW dalam kesehariannya berkerumun dengan berbagai suku dan kabilah, baik Muslim maupun Non Muslim. Keberhasilan sosialisasi tersebut mampu membawa elektabilitas dan kapabilitas sosok dari Rasulullah SAW meningkat diberbagai kalangan jazirah Arab waktu itu. Bahkan, memicu berbagai tokoh yang disegani seperti sahabat Umar untuk mengikuti Risalah Ilahi yang dibawanya.” terang Alumni FDI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Dengan menganalisis beberapa hadis Nabi yang bisa dijadikan tuntunan dalam keberlangsungan hidup bersosialisasi, sekaligus mengikuti jejak sosial ala Rasulullah SAW yang sering kali kita temui setiap saatnya. Adapun yang diajarkan Rasulullah SAW dapat dilihat dari beberapa point berikut :

Senyum dengan murah

Seringkali Rasulullah SAW menebarkan senyumnya terhadap sesama, baik yang dikenal maupun tak dikenal. Tak peduli diwaktu senang ataupun susah, sebisa mungkin untuk tetap tersenyum. Sampai-sampai terdapat nilai ibadah tersendiri sesuai dengan sabdanya yang diriwayatkan oleh Sahabat Abi dzar,

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : ” تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ “. رواه الترمذي

Artinya, “Rasulullah SAW bersabda: Senyummu terhadap saudaramu merupakan sebuah nilai sedekah untukmu.”
(HR. At-Tirmidzi)

Senyum juga dijadikan sebagai tolak ukur kecakapan seseorang dalam bersosialisasi. Setidaknya, ada serangkaian senyum dibalik pertemuannya dengan sesama. Tak pernah lupa bahwa kita bukan diciptakan sendiri di bumi ini, melainkan triliunan makhluk yang diciptakan untuk alam semesta ini.

Memberi maaf dengan mudah

Sering terdengar meminta maaf merupakan hal yang berat, sedangkan memberi maaf jauh lebih berat. Rasulullah SAW tak sebatas itu, bahkan sudah melampaui jauh dari itu. Beliau mampu memberikan maaf tanpa ada yang meminta maaf. Suatu hari ketika ada seorang Arab badui (dari pedalaman desa) yang melakukan kesalahan dengan buang air kecil di Masjid, lalu kanjeng Nabi memberikannya maaf begitu saja, sementara para sahabat yang lain geram untuk memberikan peringatan Arab badui tersebut. Sebagaimana dikisahkan oleh seorang Sahabat sekaligus Khadim Rasulillah Anas bin Malik,

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ بِذُنُوْبٍ مِنْ مَاءٍ فَأُهْرِيْقُ عَلَيْهِ
(رواه الشيخان)

“Seorang Arab Badui datang, lalu buang air kecil di serambi masjid. Maka para Sahabat mengecamnya, lalu Rasulullah SAW melarang mereka. Ketika seorang Arab badui tersebut menyelesaikan buang hajatnya (air kecil), Nabi memerintahkan untuk menyiram dan mengalirkan air di tempat buang air kecil tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Toleransi dengan ramah

“Tak perlu menuntut adanya toleransi dari orang lain. Setidaknya, bila kita sendiri sudah memulai toleransi sekecil dan sedini apapun sudah bisa dikatakan meneladani cara bersosialisasi Nabi Muhammad SAW. Terlebih di Negeri kita tercinta Indonesia yang memiliki keanekaragaman Agama dan Budaya, Nabi Muhammad sebagai panutan mengajarkan kita untuk menjunjung tinggi toleransi mulai dari hal-hal yang begitu tak terpikirkan. Kendati terjadi berbagai peperangan, tak ada satupun peperangan yang disebabkan sikap intoleransi umat Islam saat itu. Melainkan faktor internal perebutan kekuasaan yang mendominan dan faktor-faktor lainnya.” ucapnya

Tentu, dengan batas-batas yang boleh dimasuki nilai-nilai toleransi. Dalam hal ini, tegas sekali Allah SWT berpesan dalam Firman-NYA diakhir surat Al-kafirun selain urusan-urusan terkait ibadah. Tetap menjalin hubungan sosial dengan orang-orang diluar non Muslim. Ada kisah unik terkait toleransi yang tak pernah terpikirkan dicontohkan langsung oleh kanjeng nabi dengan membeli makanan dari seorang Yahudi yang bernama Abu Syam dengan cara menggadaikan baju perangnya. Sebagaimana dikisahkan langsung oleh Aisyah Ummi Al-Mu’minin,

أَنَّ رَسُولَ الله اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا لَهُ مِنْ حَدِيدٍ

(رواه الشيخان)

Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan waktu tempo, lalu menggadaikannya dengan baju besi miliknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Cerita tersebut sebagai penutup dari cara bersosialisasi ala Rasulullah SAW yang beliau ajarkan untuk diikuti oleh umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya. Dalam hal ini ada 3 point yang bisa kita garis bawahi yaitu, sabar, maaf, dan toleransi (SMT) tak lain untuk tercapainya esensi diutusnya Rasulullah SAW di muka bumi ini sebagai Rahmat bagi alam semesta. Dengan demikian akan terwujud dengan sosialisasi yang baik yang akan mebawa pada Ukhwah Islamiyyah yang berujung pada Ukhwah Basyariyyah.” Jelas Ustad yang juga Alumni Darussunnah International Institute For Hadith Sciences

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan