Lima Indikator Pemenangan Ahok: Dari Istana, Polri Hingga BIN. (ilustrasi/aktual.com)
Lima Indikator Pemenangan Ahok: Dari Istana, Polri Hingga BIN. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Ketua Bidang Kebijakan Publik PP Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Riko P Tanjung mengatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Karenanya segala tindak lisan dan perbuatan seluruh warga negara tidak boleh melanggar hukum dan norma yang berlaku.

Dalam penegakan hukum terhadap setiap pihak yang melanggar berlaku asas equality before the law, semua sama di hadapan hukum Indonesia. Tak dibenarkan tindakan membeda-bedakan perlakuan terhadap objek hukum karena status sosial, pangkat, jabatan, atau sebagainya.

“Lebih dari itu, tiada satu pun orang, kelompok, atau lembaga yang bisa lepas dari jerat hukum jika sudah terbukti bersalah,” terang Riko dalam keterangannya, Jumat (11/11).

Disampaikan, keadilan sosial ialah muara dari segala kebijakan negara. Mulai dari hulu hingga hilir pembangunan nasional Indonesia wajib berorientasi pada kepentingan rakyat secara keseluruhan, bukan hanya segelintir kelompok saja.

Pasal 33 UUD 1945 secara tegas mengamanatkan kepada pemerintah bahwa pengelolaan segala aset negara harus berujung pada sebanyak-banyaknya kemaslahatan rakyat. Tidak hanya di bidang ekonomi, keadilan sosial meniscayakan pemerintah berperan dalam peneguhan pribadi dan budaya positif pada setiap anak bangsa.

Ironisnya, kata dia, hari ini bangsa Indonesia disuguhi drama matinya demokrasi dan keadilan. Hal ini dibuktikan dengan tirani kekuasaan yang berpihak tidak pada rakyat, tetapi pemilik modal. Hukum pun lantas menjadi alat kekuasaan yang tumpul ke atas tapi tajam ke bawah.

Keadilan hanya boleh didefinisikan oleh penguasa. Tidak heran pula jika kemudian penista agama dianggap sebagai pahlawan pembangunan.

Tidak berhenti pada titik itu, kebijakan ekonomi pemerintah kini ibarat batu bata yang menyusun tembok tinggi yang kokoh dan memisahkan antara si empunya dengan rakyat miskin nan papa. Kedaulatan rakyat menjadi terjepit di antara dua batu karang besar; state capitalism dan corporate capitalism.

“Mereka yang turun ke jalan dipandang sebagai gerombolan perusuh. Ulamanya juga ditandai dengan list merah. Korban yang jatuh dengan mudah dilupakan,” jelas Riko.

Laporan: Soemitro

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby