Perkembangan terkait penyelidikan dugaan campur tangan Rusia dalam pemilihan AS tahun lalu yang berpotensi melibatkan Presiden Donald J Trump, sepertinya semakin melebar ke ranah politik. Bahkan mulai menyeret Ukraina, negara eks Uni Sovet yang ditengarai berada di belakang Hillary Clinton, pesaing Trump pada pilres AS tahun lalu.
Seperti dilansir kantor berita Antara, Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Selasa, mengecam penyelidikan dugaan campur tangan Rusia dalam pemilihan AS tahun lalu serta, tanpa bukti,seraya menengarai kemungkinan dukungan Ukraina terhadap saingannya pada pemilihan presiden, Hillary Clinton dari Partai Demokrat.
Menyeret Ukraina dalam kasus ini tentu saja menarik, mengingat dalam beberapa tahun terakhir ini, Ukraina telah dijadikan sasaran arena pertarungan antar negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat-Uni Erop versus Rusia-Cina yang sejak 2001 lalu menjalin kerjasama strategis dalam kerangka Shanghai Cooperation Organization (SCO).
Lebih menariknya lagi, meski tidak menunjukkan atau merinci bukti-bukti nyata, Trump dengan sangat meyakinkan menyebut-nyebut “upaya Ukraina untuk merusak kampanye Trump -bekerja secara diam-diam untuk memperkuat Hillary) Clinton.” Memang kalau kita cermati konstalasi global yang bermain di Ukraina, ada berbagai elemen straregis berhaluan liberal dan sosialis yang mendukung secara terang-terangan kelompok-kelompok atau partai-partai politik di Ukraina yang bersikap pro Blok Barat. Dan Hillary Clinton dan para politisi Partai Demokrat, termasuk di dalamnya.
Kalau kita kilas balik sejenak ke belakang. Amerika Serikat dan Uni Eropa nampaknya berusaha menciptakan lingkup pengaruhnya di Ukraina dengan segala cara, bahkan yang paling tidak masuk akal sekalipun.
Bayangkan, negara yang mengklaim dirinya sebagai primadona demokrasi, Amerika dan sekutu-sekutu baratnya bersedia bersekutu dengna partai berhaluan Nazi/Fasisme: Partai Svoboda pimpinan Tiahnybok, yang anti Yahudi sekaligus anti Rusia. Hanya karena bersatu dalam sikap untuk menggulingkan Presiden Ukraina Viktor Yanukovich pada 2014 lalu.
Seperti sekilas sudah kami uraikan pada tulisan terdahulu, Partai Svoboda sejak awal memang mendapat bantuan sepenuhnya dari Washington. Partai berhaluan fasis ini mengembangkan partai neo-Nazi-nya dengan merujuk pada model gerakan neo Nazi yang berkembang di Eropa. Amerika dan Uni Eropa dengan mudah mendukung Partai Svoboda karena dalam konstalasi politik parlemen Ukraina menjelang kejatuhan Yanukovich, merupakan partai yang menduduki kursi terbanyak di parlemen. Sementara AS dan Uni Eropa, memang sudah merancang sebuah “kudeta konstitusional” dengan mengandalkan kekuatan-kekuatan politik oposisi yang berada di parlemen Ukraina.
Washington sendiri telah memberi konfirmasi bahwa mereka bekerjasama dengan kelompok-kelompok fasisme radikal atau neo Nazi di Ukraina untuk menjalankan aksi destabilisasi di negara yang dulunya pernah berada dalam wilayah kedaulatan Rusia tersebut. Bahkan Asisten Menteri Luar Negeri AS Victoria Nuland menyatakan bahwa Washington telah menanam investasi sebesar 5 miliar dolar AS untuk apa yang dia sebut dengan istilah “Mempromosikan Ukraina untuk Masa Depan yang lebih Baik.”
Dengan memberi dukungan sepenuhnya terhadap organisasi-organisasi yang dipandang sebagai “pemain kunci” dalam konstalasi politik di Ukraina. Tentunya termasuk di dalamnya, partai-partai berhaluan Nazi atau fasisme seperti Partai Svoboda. Berikut elemen-elemen sayap kanan atau ultra nasionalis lainnya.
Jika kita menelisik kembali proses kejatuhan Yanukovich pada 2014 lalu yang didahului dengan gelombang demonstrasi dan kerusuhan yang berlangsung 3 bulan penuh, maka tak pelak lagi tangan-tangan Amerika dan Uni Eropa ikut bermain dari balik layar.
Hal ini bisa kita lihat ketika Yulia Tymoshenko, pesaing utama Yanukovich yang sudah dipenjara selama lebih dari 5 tahun, kemudian dibebaskan sehingga ketika demonstrasi dan kerusuhan yang kabarnya telah menewaskan 80-an orang tersebut, kemudian dijadikan simbol perlawanan terhadap rezim pemerintahan Yanukovich yang dalam garis politiknya sejalan dengan Pemerintahan Rusia di bawah Presiden Vladimir Putin. Nampak jelas, pola penggulingan Yanukovich khas skenario permainan kelompok-kelompok pro demokrasi dari AS dan Eropa Barat.
Pemicu kejatuhan Yanukovich, menggambarkan dengan terang-benderang apa yang menjadi skema AS dan Blok Barat yang coba dipaksakan di Ukraina.
Masih ingat apa yang terjadi pada 2011? Ketika itu, International Monetary Fund (IMF) gagal menjebol perekonomian Ukraina ketika pemerintah saat itu menolak mentah-mentah rekomendasi IMF untuk menghentikan subsidi harga gas yang dikonsumsi sebagian besar rakyat Ukraina. Padahal Ukraina sudah menyetujui pinjaman untuk Ukraina sebesar 15 miliar dolar AS.
Jerman, juga menekan Ukraina untuk bergabung dengan jaringan politik dan bisnisnya lewat kekuatan kelompok negara Uni Eropa. Sekadar informasi, Jerman sebenarnya sedang memulai proyek geopolitik besarnya melawan Rusia dengan memperluas jaringan European Union Eastern Partnership-nya. Proyek itu ternyata mampu merangkul negara Georgia dan Moldova. Sedangkan negara Belarus dan Armenia yang sudah dalam radar Jerman ternyata memilih bergabung ke kelompok negara Eurosian Customs Union yang dipimpin Rusia.
Bukan itu saja. Ukraina yang kaya sumber energy itu juga menolak mentah-mentah keinginan Uni Eropa. Sangat logis jika kemudian Jerman meradang dengan penolakan Ukraina. Karena secara geopolitik, Ukraina dipandang oleh Jerman sebagai negara kunci untuk memenangkan perang pasar energy global Uni Eropa melawan kelompok negara-negara yang pro Rusia dan Cina.
Dalam prediksi Jerman, jika Ukraina bisa diajak bergabung dalam Uni Eropa, maka Uni Eropa akan mampu mengatur pasar energy global, minimal di tingkat negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa.
Bebeapa langkah strategis Uni Eropa untuk menguasai Ukraina sebenarnya sudah dilakukan jauh-jauh hari. Beberapa perusahaan besar Jerman sudah membangun pipa gas yang cukup besar di Ukraina. Pipa gas tersebut dibangun melintasi Polandia, Hongaria dan Slovakia. Yang menjadi dasar pertimbangan Jerman, dengan membangun pipa-pipa gas tersebut, pada perkembangannya akan menyelesaikan ketergantungan Ukraina terhadap pasokan gas yang selama ini disalurkan dari Rusia.
Maka Jerman ingin agar proyek besar tersebut dibayar oleh Presiden Yanukovich dengan menandatangani kesepakatan untuk bergabung dengan Uni Eropa. Namun dengan keputusan Yanukovich untuk lebih memilih bersekutu dengan Cina, Rusia dan Iran, maka rencana Jerman untuk membangun infrastruktur pipa gas tadi akhirnya hancur berantakan. Gagal total.
Nampaknya inilah skenario besar AS dan Uni Eropa di balik dukungan terhadap ribuan demonstrasi dengan berlindung pada simbol gerakan “Pro Demokrasi” dan gerakan “anti Presiden Yanukovich.”
Lantas, bagaimana gambaran konstalasi politik Ukraina pasca kejatuhan Yanukovich? Mari kita telisik profil kelompok-kelompok yang berada di balik gerakan “Pro Demokrasi” Ukraina ini. Ternyata ada 3 kelompok besar di balik penggulingan Yanukovich.
Pertama, adalah partai Batkivschyna yang dipimpin oleh Yulia Tymoshenko. Partai ini dibiayai dan didukung secara langsung atau tidak langsung oleh Jerman.
Yang kedua, adalah Partai Svoboda yang mengusung ideology Neo Nazi. Partai ini adalah kelompok yang paling kuat menentang Yanukovich. Partai yang anti Yahudi (termasuk Yahudi Rusia) ini dibiayai oleh Washignton. Partai ini dipimpin oleh Tiahnybok. Dia mengembangkan partai neo nazi-nya dengan merujuk pada gerakan neo nazi yang berkembang di Eropa. Dalam konstalasi politik parlemen di Ukraina, Svoboda merupakan partai terbesar di Ukraina saat ini.
Kalau melihat betapa kisruhnya situasi politik di Ukraian beberapa bulan jelang jatuhnya Yanukovich, nampaknya Partai Svoboda berperan cukup aktif untuk memanaskan keadaan dan dalam menciptakan aksi destabilisasi politik.
Partai ketiga adalah partai Udar yang dipimpin langsung oleh Vitally Klitschko, mantan juara tinju kelas berat dunia. Klitschko merupakan salah satu calon presiden yang akan maju pada pemilu Ukraina 2015 mendatang. Partai Jerman Christian Democrat Union memastikan Klitschko merupakan salah satu orang penting untuk menjembatani semangat pro Uni Eropa di Ukraina.
Yang mengherankan kami di Global Future Institute, beberapa media arus utama, termasuk beberapa harian terkemuka di Indonesia, justru lebih menyorot dan menjadikan headlinenya ke arah kemunculan semangat neo nazi di Ukraina. Bahkan ada yang mengembangkan wacana bahwa Ukraina akan menjadi negara neo fasis baru. Sehingga Partai Svoboda dan gerakan neo nazi-lah yang justru jadi headline berbagai media massa di dalam maupun di luar negeri.
Padahal, isu besar di balik jatuhnya Presiden Yanukovich adalah pertarungan penguasaan energy global antara kelompok negara Trans Pacific Partnership (TPP) yang dimotori oleh Amerika dan Uni Eropa yang dimotori oleh Jerman. Melawan negara-negara yang tergabung dalam BRICS berdasarkan skema kerjasama strategis Rusia dan Cina melalui Shanghai Cooperation Organization (SCO).
Maka itu, dengan mencuatnya tudingan Trump terhadap campur-tangan Ukraina terhadap pesaing politiknya, Hillary Clinton, membuat sinyalemen keterlibatan Rusia dalam manuver mendukung Trump pada pilpres AS tahun lalu jadi logis dalam kerangka persaingan global AS versus Rusia berebut pengaruh di Ukraina.
Alhasil, kasus Trump ini tidak lagi dipandang semata dalam perspektif hukum, melainkan telah melebar menjadi kasus politiik, yang mana pemilihan presiden AS tahun lalu telah menjadi arena Proxy War antara AS-Uni Eropa-Ukraina versus Rusia-Cina melalui pertarungangan Trump versus Hillary. Setidaknya itulah kesan yang sekarang terbangun di benak publik di AS.
Hendrajit