Jakarta, Aktual.com – Pada 23 Desember 2016, lahir Resolusi dari Dewan Keamanan PBB, yang mendesak diakhirinya pemukiman Israel di atas tanah Palestina. Resolusi ini disetujui oleh semua Negara yang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB, salah satunya adalah USA. Namun belum genap setahun usia dari resolusi tersebut, ternyata sudah diingkari oleh USA. Melalui pernyataan dan tindakan brutal Donald Trump, selaku Presiden USA, yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kantor Kedutaan USA untuk Israel ke Kota Yerusalem, yang sebelumnya di Tel Aviv.

Tindakan brutal Donald Trump selaku Presiden USA ini tentu mengejutkan dunia, karena selain mengingkari Resolusi DK PBB, juga berpotensi menimbulkan gejolak, kecaman dan perlawanan dari umat islam seluruh dunia. Sebab Yerusalem adalah kota yang didalamnya berdiri bangunan suci milik umat islam, yakni Mesjid Al Aqsha. Salah satu titik yang pernah menjadi kiblat umat islam seluruh dunia. Maka wajar apabila timbul gejolak perlawanan dari umat islam, jika tempat suci ini diganggu.

Terlebih lagi kota Yerusalem hendak dikuasai oleh Israel (Yahudi), sebagai ibu kota mereka dan didukung pula oleh USA. Tentu gejolak perlawanan itu pasti akan muncul diberbagai Negara, khususnya Negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim. Tindakan brutal Donald Trump ini, merupakan bentuk kampanye terbuka, bahwa USA berpihak kepada Israel dan menantang perang kepada umat Islam di seluruh dunia.

Apa yang telah dilakukan oleh USA kali ini, semakin menjelaskan bahwa USA adalah Negara yang tidak terhormat. Dan menambah daftar panjang pengkhianatan bangsa-bangsa kafir terhadap umat islam dan negeri-negeri islam. Sudah berulang kali dunia membuat perjanjian ataupun resolusi terkait islam dan negeri-negeri islam. Tapi berulang kali pula umat islam dikhianati dan selalu dirugikan. Sejak zaman rasulullah saw masih hidup, bangsa-bangsa pecundang itu sudah menunjukkan kehinaannya.

Perjanjian dengan kaum Yahudi saat di Madinah misalnya, dalam momen perang Khandaq. Dimana Rasulullah saw dan kaum Yahudi telah banyak membuat kesepakatan damai, dimana salah satunya adalah bahwa umat islam melindungi kaum Yahudi di Madinah dan kaum Yahudi tidak membantu orang-orang kafir dari bangsa Quraisy di Mekkah yang akan menyerang Madinah. Namun ternyata, kaum Yahudi justru melanggar perjanjian itu dan turut serta membantu pasukan kafir Quraisy. Bahkan hendak membunuh Rasulullah saw.

Jauh setelah peristiwa itu, di masa Kesultanan Turki Utsmani misalnya. Pada tahun 1444 M, Kesultanan Turki Utsmani yang waktu itu dipimpin oleh Sultan Murad II (ayah dari Muhammad Al Fatih), pernah membuat perjanjian damai dengan pasukan salib. Dimana inti dari perjanjian tersebut adalah tidak ada peperangan selama sepuluh tahun ke depan. Perjanjian ini berlandaskan sumpah di bawah kitab suci agama masing-masing.

Raja Ladelase (Raja Maghyar atau Hongaria saat ini) yang mewakili pasukan salib bersumpah dengan mengangkat Injil. Dan Sultan Murad II bersumpah dengan mengangkat Al Qur’an. Namun tidak berselang lama dari perjanjian yang suci itu, tiba-tiba pasukan salib kembali mengkonsolidasi diri dan memproklamirkan perang terhadap Kesultanan Turki Utsmani dan berniat menghapus islam dari Eropa. Maka terjadilah perang antara pasukan salib dan pasukan islam Turki Utsmani. Perang ini berlangsung sengit, namun akhirnya dapat dimenangkan oleh pasukan Kesultanan Turki Utsmani.

Lalu setelah peristiwa di masa Turki Utsmani itu, banyak lagi perjanjian-perjanjian antar bangsa kafir dan islam yang dibuat. Namun kasusnya selalu sama, bangsa kafir selalu lebih dulu mengkhianati perjanjian dan akhirnya menimbulkan peperangan. Misal pada tahun 2012, Palestina dan Israel pernah membuat perjanjian di Kairo untuk gencatan senjata, waktu itu di mediasi oleh Presiden Mesir, Mohammad Mursi. Namun tak lama setelah perjanjian gencatan senjata itu dibuat, pasukan Israel kembali melanggar kesepakatan, mereka menembak warga Palestina, dan akhirnya meletus kembali gejolak perlawanan dari rakyat dan pasukan Hamas di Palestina.

Tabiat dari bangsa-bangsa pecundang ini dari dulu hingga hari ini memang tidak pernah berubah, selalu menyepakati resolusi di saat mereka dalam kondisi lemah, dan kembali mengingkari resolusi saat mereka sudah merasa kuat dalam mengkonsolidasi diri. Sejarah mencatat dengan baik, bahwa sudah berulang kali umat islam terlibat perjanjian ataupun resolusi dengan bangsa-bangsa pecundang seperti itu, tapi berulang kali pula umat islam dikhianati. Semua kampanye tentang HAM, Demokrasi, dan Kemerdekaan hanyalah lipstick untuk mengaburkan kehinaan atas bangsa-bangsa pecundang tersebut. Karena dalam realitasnya, semua menjadi omong kosong saat yang berurusan dengan mereka adalah islam.

Oleh: Setiyono (Aktivis Pergerakan)