fahri Hamzah

Jakarta, Aktual.com – Maraknya bencana alam pada tahun ini telah meluluhlantakkan sejumlah wilayah di Indonesia.

Tercatat, terdapat tiga bencana besar pada 2018, mulai dari gempa Lombok, gempa dan tsunami Sulawesi Tengah yang diikuti likuifaksi hingga yang paling baru adalah tsunami Selat Sunda.

Karenannya, penanganan bencana dinilai harus menjadi salah satu tema yang dimasukkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam debat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres) untuk Pemilu 2019.

Pendapat ini dikemukakan oleh Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah dalam keterangan tertulisnya, Rabu (26/12).

Menurutnya, masing paslon harus mengeluarkan pandangannya terkait penanganan bencana dalam debat tersebut.

“Capres harus punya proposal yang memadai untuk menghadapi bencana ini dan harus menjadi bahan perdebatan bagi para capres,” kata Fahri.

Ia menilai langkah konkret menghadapi bencana alam jangan sekadar basa-basi dan janji yang tidak dipenuhi. Namun, harus dipenuhi untuk menjamin keselamatan bangsa Indonesia.

Menurut Fahri, amanah dari pembukaan UUD Tahun 1945 yang utama adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

“Menempatkan teknologi pemantauan dan mitigasi bencana di Indonesia adalah sesuatu yang sangat mutlak dan darurat. Itu pertama yang saya katakan sebagai pandangan terakhir tentang bagaimana cara mengatasi bencana,” ujarnya.

Selain itu, dia juga menyoroti sistem mitigasi bencana dan peralatan peringatan dini tsunami yang dimiliki Indonesia.

Menurut dia, kemungkinan peralatan yang dimiliki Indonesia, teknologinya sudah tidak mampu melakukan pemantauan menyeluruh karena letaknya yang terputus-putus.

“Karena dari hampir 200 pusat pemantauan, saya mendengar hanya 50 lebih yang masih aktif, yang lain itu sudah tidak aktif lagi. Padahal, sebenarnya tema mitigasi bencana itu harus menguat sebelum terjadinya peristiwa itu sendiri,” katanya.

Hal itu, kata dia, beralasan karena sejumlah bencana alam besar telah menerpa Indonesia sepanjang 2018, seperti gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada bulan Agustus 2018, gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah (Sulteng) pada bulan September 2018, dan bencana tsunami di Selat Sunda yang menerjang Banten dan Lampung pada tanggal 22 Desember 2018.

Setelah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan yang disampaikan pemerintah pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disahkan, kata Fahri, Indonesia berkemungkinan mengembangkan teknologi antariksa untuk melakukan mitigasi bencana.

“Di antaranya dalam bentuk mengembangkan satelit yang memantau pergerakan kerak bumi maupun aktivitas gunung berapi secara lebih masif dan komprehensif,” katanya.

Kedua, lanjut dia, aneh ketika bencana terjadi berturut-turut dan begitu besar akibat kelalaian melakukan mitigasi dan sistem peringatan dini kepada rakyat, tidak ada satu pun lembaga yang memiliki kapasitas bertanggung jawab atas keseluruhan masalah yang ditimbulkannya.

“Padahal, seharusnya ada lembaga yang bertanggung jawab dan ada orang yang harusnya dihukum karena kegagalan dalam melakukan tugas mitigasi dan sistem peringatan dini,” ujarnya.

Ketiga, katanya lagi, pemerintah harus bertanggung jawab apa proposalnya yang dilakukan sehingga itu tidak jalan. Menurut dia, terutama di Indonesia yang jelas-jelas daerah “ring of fire” dan memiliki peluang bencana yang sangat besar. Kalau tidak punya alat yang memadai, bencana bisa mengintai.

Ia pernah mengusulkan adanya satelit yang memantau perjalanan kerak bumi karena satelit untuk memantau penebangan kayu saja ada untuk memantau deforestasi.

Sebelumnya, KPU bersama partai politik telah menyepakati jadwal debat Pilpres 2019 sebanyak lima kali yang seluruhnya digelar di Jakarta.

Debat rencananya dilakukan pada tanggal 17 Januari 2019, 17 Februari, 17 Maret, 30 Maret, dan debat terakhir belum ditentukan tanggalnya karena KPU dan tim kampanye masih akan mengecek jadwal masing-masing pasangan calon.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan