Rizal Ramli di Forum Tebet
Rizal Ramli di Forum Tebet

Jakarta, Aktual.com – Mantan Menko Ekuin era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli menilai Pidato kampanye yang disampaikan Capres 01 Jokowi di Sentul Minggu (24/2) kemarin tidak lain adalah pengulangan dari pidato-pidato sebelumnya. Laporan tentang apa-apa yang telah dilakukan, dengan angka-angka yang ngasal dan “maaf” diragukan kredibilitasnya.

“Kenapa seperti pada Debat Capres ke-2 banyak sekali data ngasal, ngawur dan cendrung Hoax? Hal itu terjadi karena kebiasaan Presiden Widodo yang doyan mengklaim prestasi berlebihan (over-claims) dan lingkaran dalamnya yang bermental ABS (Asal Bapak Senang),” kata Mantan Menko Kemaritiman ini saat diskusi di Forum Tebet, Jakarta, Senin (25/2).

Menurut Rizal Ramli, Presiden Widodo juga terlalu jumawa dan tidak jujur ketika mengatakan bahwa ”Dana Desa dimulai dari Jokowi”. Padahal Dana Desa adalah amanat dari UU Desa. Alokasi dana desa lebih dari Rp1 Milyar per desa adalah amanah dari UU Desa 2013.

“UU Desa tersebut diperjuangkan oleh asosiasi-asosiasi kepala Desa, terutama Parade Nusantara dengan Ketua Umum Sudir Santoso dan Ketua Dewan Pembina DR. Rizal Ramli; yang memperjuangkan UU Desa sejak tahun 2011. Pembahasan UU tersebut banyak dibantu oleh Marwan Ja’far, Ketua Fraksi PKB dan Ahmad Muqoam Ketua Pansus dari PPP, serta dibantu Ketua DPR Marzuki Alie,” ungkap Ekonom Rizal Ramli.

Kemudian lanjutnya, hukum semakin terasa tidak adil, hanya galak dan tegas terhadap tokoh-tokoh yang berbeda pendapat dan kritis terhadap kekuasaan. Index demokrasi Indonesia merosot dari peringkat ke-49 pada tahun 2014 menjadi peringkat ke-65 pada tahun 2018.

“Terjadi pendangkalan kehidupan bernegara, semua masalah dibahas dengan kerangka untuk menjaga kepentingan kekuasaan. Bukan untuk membela kepentingan rakyat dan keadilan bagi seluruh rakyat. Situasi ini menimbulkan kondisi sosial di masyarakat menjadi terbelah karena praktek hukum dijalankan secara antagonis/tidak adil. Ini memancing suasana konfrontatif di dalam masyarakat,” jelasnya.

Menurutnya, setelah 4 tahun lebih, terbukti Presiden Widodo gagal karena tidak adanya konsistensi antara tujuan, strategi, kebijakan dan personalia.
“Pidato Presiden Widodo di Sentul, kurang jujur, karena tidak mengakui kegagalan yang terjadi. Seharusnya, jika ksatria, Widodo berani meminta maaf dan ganti strategi,” urainya.

Jika Presiden Widodo melakukan hal itu kata dia, baru akan terlihat harapan dan optimisme baru. Tetapi Presiden Widodo tidak mau minta maaf dan ganti strategi, sehingga kegagalannya justru menebar pesimisme dan mengubur harapan.

“Padahal inti dari kepemimpinan adalah menumbuhkan harapan dan optimisme. Untuk itu pemimpin harus mampu melakukan refleksi, introspeksi dan kejujuran untuk mengakui kekurangan dan kegagalan untuk segera diubah, sehingga memberikan harapan dan optimisme baru,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan