Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mempelajari permohonan praperadilan yang diajukan mantan Menpora Imam Nahrawi (IMR), tersangka kasus suap penyaluran pembiayaan dengan skema bantuan pemerintah melalui Kemenpora pada KONI Tahun Anggaran 2018.

“Saat ini, KPK sedang mempelajari permohonan praperadilan yang diajukan tersangka IMR tersebut. Pada prinsipnya tentu kami akan menghadapi dan juga meyakini bahwa sejak awal kasus ini memang didasarkan pada bukti yang kuat,” ucap Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa (22/10).

Bahkan, lanjut dia, penetapan Imam sebagai tersangka merupakan pengembangan lebih lanjut dari operasi tangkap tangan (OTT) di Kemenpora dan fakta-fakta yang muncul di persidangan.

Febri menyatakan beberapa alasan tersangka Imam mengajukan praperadilan yang dicermati lembaganya, yakni penetapan tersangka tidak melalui proses penyidikan dan pemohon mengatakan tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka dalam proses penyidikan tersebut.

“Proses penyelidikan KPK sangat pendek, yaitu hanya empat hari yang dihitung dari tanggal LKTPK (Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi) 22 Agustus 2019 dan penerbitan Surat Perintah Penyidikan pada 28 Agustus 2019 dan penerbitan SPDP dilakukan satu hari kemudian, yaitu 29 Agustus 2019,” kata Febri.

Menurut tersangka Imam, proses penyidikan tersebut sangat cepat dan yang bersangkutan tidak pernah diperiksa.

“Tersangka juga menyebut prestasi yang dicapai saat penyelenggaraan Asian Games, Asian Para Games, Olimpiade Internasional Rio De Janeiro di Brazil Tahun 2016 dengan segala medali yang didapatkan,” kata dia.

Selanjutnya menurut tersangka Imam, penetapan tersangka tidak jelas karena tuduhan suap yang diberikan KPK melebihi jumlah kekayaan yang ia laporkan pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

“Tersangka IMR juga mengakui tidak bisa memenuhi tiga kali panggilan dalam penyelidikan, yaitu 31 Juli 2019, 2 Agustus 2019, dan 21 Agustus 2019 dan penahanan yang dilakukan KPK tidak sah karena pimpinan KPK telah “menyerahkan mandat” pada Presiden,” ungkap Febri.

Ia menyatakan bahwa sebagian besar alasan yang diajukan oleh tersangka sudah cukup sering digunakan para pemohon praperadilan lain sehingga sebenarnya relatif tidak ada argumentasi baru.

Sebagai contoh, kata dia, alasan yang hanya mengacu pada KUHAP bahwa penetapan tersangka seharusnya dilakukan pada tahap penyidikan sehingga pemeriksaan yang bersangkutan sebagai calon tersangka semestinya dilakukan di penyidikan.

“Alasan ini sudah sering ditolak hakim karena memang UU KPK mengatur secara khusus bahwa sejak proses penyelidikan, KPK sudah mencari alat bukti sehingga ketika ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka pada saat penyidikan dimulai sekaligus dapat dilakukan penetapan tersangka,” tuturnya.

Sedangkan terkait penyelidikan yang prosesnya hanya empat hari, ucap Febri, tampaknya tersangka Imam salah memahami makna LKTPK seolah-olah itu adalah surat perintah penyelidikan.

“KPK telah melakukan penyelidikan sejak 25 Juni 2019 dan selama penyelidikan itu, sudah dilakukan pemanggilan tiga kali terhadap IMR, namun yang bersangkutan tidak datang karena berbagai alasan,” tuturnya.

Oleh karena itu, lanjut Febri, saat KPK mendapatkan bukti permulaan yang cukup atau minimal dua alat bukti sesuai Pasal 44 UU KPK, maka dapat dilakukan penyidikan.

“Jika frasa bukti permulaan yang cukup tersebut dihubungkan dengan ketentuan pada Pasal 1 angka 14 KUHAP yang mengatur definisi tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, maka sejak proses penyidikan karena telah ditemukan bukti permulaan yang cukup, sekaligus dapat ditetapkan tersangka,” tuturnya.

Menurutnya, ketentuan yang bersifat khusus ini memang seringkali tidak dipahami secara tepat sehingga para pemohon berulang kali menggunakan argumentasi tersebut.

“Sedangkan terkait penahanan yang dihubungkan dengan penyerahan mandat,  KPK telah menegaskan bahwa pimpinan KPK tetap bertugas sesuai dengan Keputusan Presiden sampai dengan 21 Desember 2019 ini dan sampai saat ini tidak ada Keputusan Presiden tentang pemberhentian pimpinan KPK,” tuturnya.

Ia juga menegaskan proses penyidikan perkara tersebut terus berlanjut dan secara paralel juga sudah ditugaskan tim dari Biro Hukum KPK untuk menghadapi praperadilan Imam tersebut.

“Kami meyakini proses formil yang dilakukan KPK ataupun bukti substansi yang kami miliki kuat untuk terus melakukan penyidikan dan proses lanjutan,” kata dia.

Adapun sidang praperadilan Imam akan digelar pada Senin (4/11) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

“Sesuai dengan penundaan yang disampaikan hakim, maka direncanakan sidang praperadilan yang diajukan tersangka IMR kan dilakukan pada Senin, 4 November 2019,” ujar Febri.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan