Ditulis: Ali Syahbana
Salah kaprah, bagi sebagian dari kita yang belum mafhum boleh juga diartikan adanya ketidak-pasan akan penempatan sesuatu. Atau jika mau merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), salah kaprah adalah kesalahan yang umum sekali sehingga orang tidak merasakan sebagai kesalahan. Menjadi umum karena sebuah kesalahan telah melalui proses pemakaian yang luas.
‘Salah Kaprah dibulan Rajab’ pada akhirnya bisa digambarkan dengan adanya ketidak-pasan amaliah seseorang di bulan tersebut. Atau ada ketidaksesuaian pemahaman sebagian kelompok terhadap bulan tersebut. Atau bisa juga ada kekeliruan-kekeliruan umum lainnya yang tidak terasa terjadi.
Contoh yang sering kali terjadi, misalnya ada sebagian kelompok yang bersikukuh menyatakan bid’ah bagi pelaku puasa di bulan Rajab. Bahkan tidak tanggung-tanggung, ulama sekaliber Allah yarham Imam Ibnu Hajar al-Atsqalani dijadikan sandaran penguat dalam ber-argumen. Beliau, Imam Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab “Tabyinul Ujub bi Ma Warada fi Fadli Rajab”_ mengatakan; “Tidak terdapat riwayat yang sahih yang bisa dijadikan dalil tentang keutamaan bulan Rajab, baik bentuknya puasa sebulan penuh, puasa di tanggal tertentu di bulan Rajab, atau shalat tahajud di malam tertentu. Keterangan saya ini telah didahului oleh keterangan Imam Abu Ismail Al-Harawi”.
Serasa kurang afdhal, argumen mereka pun diperkuat lagi dengan pernyataan Allah yarham Imam Ibnu Rajab dalam “Lathaiful Ma’arif” yang menegaskan; “Tidak ada satu pun hadits sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus. Hanya terdapat riwayat dari Abu Qilabah, bahwa beliau mengatakan, ‘Di surga terdapat istana untuk orang yang rajin berpuasa di bulan Rajab.’ Namun, riwayat ini bukan hadits. Imam Al-Baihaqi sendiri berkomentar, ‘Abu Qilabah termasuk tabi’in senior. Beliau tidak menyampaikan riwayat itu, melainkan hanya kabar tanpa sanad.
Ungkapan dua ulama diatas memberikan pemahaman bahwa memang tidak ada sandaran valid yang secara khusus mengarah pada kebolehan berpuasa di bulan Rajab. Namun, terlalu terburu-buru juga jika hal tersebut menjadikan klaim bid’ah terlontar begitu saja. Tidakkah mereka menelaah juga pendapat ulama yang juga kredibel, Imam as-Syaukani rahimahullah yang mengatakan; “Bila semua hadis yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunahkan puasa di dalamnya kurang kuat dijadikan landasan, maka hadits-hadits Nabi saw. yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan-bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab) itu cukup menjadi hujjah atau landasan. Di samping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab”.
Jika demikian, patutlah keutamaan berpuasa pada bulan haram yang disabdakan kanjeng Nabi saw. Dalam riwayat Imam Muslim, “Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-muharram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab)”, menjadi pembebas dari klaim bid’ah dan kesalahkaprahan.
Imam al-Ghazali rahimahullah dalam Ihya’ Ulumiddin pun berkomentar bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan beliau menyatakan bahwa Rajab terkategori al-Asyhur al-Fadhilah dan al-Asyhur al-Hurum di samping Dzulhijah, Muharram dan Sya’ban.
Adapun contoh lainnya, ada pelaku puasa di bulan Rajab yang disebabkan ‘iming-iming’ bahwa puasa sehari seakan puasa setahun, puasa 7 hari pintu jahanam tertutup untuknya, dan seterusnya, dan sebagainya. Bila hal tersebut menjadi tujuan dan bahkan keyakinan, maka, sependek pemahaman penulis, ini juga sebuah kesalahkaprahan. Mengapa? Sebab semua riwayat yang menyatakan hal tersebut berstatus lemah dan tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Dan terlalu lebar jika riwayat-riwayat tersebut harus dibeberkan disini. Cukuplah ungkapan pakar hadits sekaliber Imam Ibnu Hajar rahimahullah diatas menjadi isyaratnya.
Terakhir, mestinya bagi kelompok yang gemar memberikan stempel bid’ah mampu lebih bijak dan obyektif lagi sebelum mengambil keputusan. Terlebih yang pemahamannya belum sampai taraf ulama atau kyai, dalam artian masih sekedar ikut-ikutan memberi stempel. Dan bagi pelaku puasa, penulis ucapkan selamat menjalankan ibadah puasanya. Selamat menuai keberkahan dan kemuliaan bulan Rajab. Berpuasalah tanpa ‘embel-embel’ karena ini dan itu, tetapi semata-mata mengharap ridha Allah SWT.
Artikel ini ditulis oleh:
Megel Jekson