Jakarta, Aktual.com — Mimpi merupakan pengalaman bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan, atau indera lainnya dalam tidur. Terutama saat tidur yang disertai gerakan mata yang cepat (rapid eye movement/ REM sleep, red).

Seorang manusia hampir tidak terlepas dari mimpi yang ia saksikan dalam tidurnya. Islam pun telah mensyari’atkan adab-adab yang terkait dengan mimpi. Ini merupakan bukti agung yang menunjukkan bahwasanya Islam adalah agama yang meliputi seluruh perkara agama dan dunia. Apakah mimpi itu baik atau pun buruk, selayaknya seorang Mukmin beradab dengan adab-adabnya.

Mimpi yang dialami seseorang dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam:

Pertama, mimpi yang disukai atau mimpi baik.
Mimpi ini dapat digambarkan seperti ketika seseorang mengalami mimpi tentang hal-hal yang dia sukai. Menurut hadis yang diriwayatkan Bukhari Ra, menyebutkan, dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa sesungguhnya dia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda, “Apabila sesorang dari kamu memihat suatu mimpi yang menyenangkan maka sesungguhnya mimpi itu hanyalah dari Allah SWT, maka hendaknya ia memuji Allah SWT (bertauhid) atas mimpinya dan hendaknya ia memberitahukannya.”

“Dan apabila ia melihat tidak demikian dari yang tidak menyenangkannya maka sesungguhnya mimpi itu hanyalah dari setan, maka hendaklah ia memohon perlindungan (Ta’awwudz kepada Allah SWT, red) dari keburukannya dan janganlah menuturkannya kepada seseorang, maka mimpi itu tidak membahayakannya (madharat).”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda,yang artinya, “tidaklah tinggal dari tanda-tanda kenabian kecuali berita-berita gembira”. Para sahabat bertanya, “apa itu berita-berita gembira?”, Rasulullah SAW bersabda, “mimpi yang baik”. (HR. Bukhari).

Kedua, mimpi yang datang dari bisikan diri sendiri.
Menurut beberapa sumber, mimpi ini berasal dari keinginan hawa nafsu, karena seperti kita ketahui nafsu itu ada tiga, yaitu nafsu mutmainnah, nafsu lawwamah dan nafsu ammarah. Mimpi seperti ini terjadi karena pengaruh pikiran. Sesuatu yang kita lakukan atau yang kita khayalkan saat siang hari atau menjelang tidur sehingga hal tersebut muncul dalam mimpinya.

Atau bisa jadi mimpi ini merupakan permainan setan sebagaimana dalam hadis riwayat Imam Muslim, diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi Muhammad SAW, “Sesungguhnya saya telah bermimpi (melihat) kepalaku telah terputus (dari badanku) lalu saya mengikutinya dari belakang, maka Nabi SAW mencelanya dan bersabda, “janganlah kamu ceritakan (kepada orang lain) permainan syaithan terhadapmu di dalam mimpi(mu)”. (HR. Muslim)

Ketiga, mimpi buruk

Yaitu apabila seseorang melihat dalam mimpinya sesuatu yang ia benci. Mimpi ini datangnya dari setan yakni dengan menampakkan hal-hal yang jelek, yang dengannya seorang manusia dapat terkejut, sedih dan bisa jadi hingga membuatnya sakit, karena setan adalah musuh manusia. Mereka menyukai apa yang dibenci oleh manusia.

Allah SWT berfirman, “Apabila (kalian) melihat selain dari itu (mimpi baik) berupa hal-hal yang dibenci, maka sesungguhnya itu datangnya dari setan maka berlindunglah (kepada Allah SWT) dari kejahatannya (setan) dan janganlah menceritakannya kepada seorang pun, karena mimpi tersebut tidak membahayakannya” (muttafaqun ‘alaihi).

Satu perkara yang perlu disadari bahwa mimpi tidak boleh dijadikan hujjah atas hukum syara (dalam artian mempercayai bahwa mimpi merupakan suatu tanda atau isyarat akan terjadinya sesuatu dalam hidup, red).

Ia sekedar berita-berita yang menggembirakan atau ‘bunga tidur’. Tidak lebih dari itu, mimpi yang benar datang dari orang yang tidak pernah berbohong dalam hidupnya. Menurut Ibnu Al Qayyim semakin benar hidup seseorang maka semakin benar pula mimpi yang dialaminya, selain itu orang yang bermimpi itu hendaklah berada dalam keadaan berwudhu dan sehingga tertidur dalam keadaan suci, ini sesuai dengan sunah Nabi. (Bersambung….)

(Sumber: Al-Majmu’atul Kamilah li Mu’allafat Ibnu Sa’di, (1/108); Tafsir Al Qurthubi (9/126), At Tamhid (1/288); Ensiklopedia Adab Islam Menurut Al Qur’an dan As-Sunnah, Jilid I- Pasal XI, hal. 529-539, Adul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, Penerbit: Pustaka Imam Asy Syafi’i, telah diedit untuk keselarasan; Teks hadits dari www.mutiarahadits.com)

Artikel ini ditulis oleh: