Jakarta, Aktual.com — Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB), Adhie Massardi, mengatakan, bangsa Indonesia selama puluhan tahun berjuang tidak mengenal kata lelah. Bahkan, perjuangan sampai berdarah-darah untuk keluar dari sistem yang represif ke arah yang lebih baik bernama demokrasi.

Puncak perjuangan rakyat Indonesia memasuki ranah demokrasi terjadi dalam gerakan reformasi (1998). Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 1999 mempertaruhkan seluruh jalan perjuangannya selama puluhan tahun untuk mendorong militer di negeri ini kembali kepada khitahnya.

“(Militer) tidak lagi berada di panggung politik dan dijadikan instrumen penjaga kekuasaan seperti di zaman Orde Baru,” terang Adhie dalam keterangan tertulisnya, Senin (22/2).

Adhie menyatakan demikian sejalan dengan penggunaan pasukan tentara (militer) dalam penggusuran warga masyarakat di kawasan Kalijodo Jakarta Utara beberapa hari lalu. Hal yang disebutnya sebagai pelanggaran berat terhadap nilai-nilai demokrasi.

“Langkah Ahok kembali menarik militer ke panggung politik untuk mengamankan kekuasaannya bukan saja menarik mundur hal yang sudah diperjuangkan lama rakyat Indonesia, tapi juga berbahaya bagi militer (TNI) sendiri karena akan dianggap sebagai ‘musuh rakyat’sebagaimana di zaman Orba,” tegasnya.

Disinggung bagaimana komitmen Menteri Pertahanan Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu, terkait kekuatan rakyat untuk menyatu dengan TNI dalam program bela negara.

“Apakah Ahok lupa bahwa dirinya bisa menjadi penguasa di Ibukota merupakan bagian dari ‘berkah demokrasi’? Dan apakah Ahok paham bahwa kekuatan utama demokrasi adalah ‘dialog, dialog dan dialog’?,” jelasnya.

Sebagai mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Adhie percaya bahwa tidak ada persoalan di muka bumi ini yang tidak bisa diselesaikan dengan dialog yang dilakukan dengan jujur.

“Saya percaya, warga Kalijodo dan lain-lain sesungguhnya bisa diajak dialog. Kuncinya: kejujuran!,” katanya.

Perlawanan, menurutnya hanya akan dilakukan bila dalam dialog terdapat ketidakjujuran. Misalnya dengan mengatakan Kalijodo dikembalikan sebagai jalur hijau, tetapi faktanya untuk kepentingan raja properti Ibukota.

“Mengatakan untuk meningkatkan harkat dan martabat warga Jakarta, tapi faktanya untuk meningkatkan harga tanah sekitar yang sudah dikuasai para taipan,” demikian Adhie.

Artikel ini ditulis oleh: