Ribuan massa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) melakukan demonstrasi memadati jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, Jumat (4/11/2016). Ribuan massa ini menuntut penuntasan proses hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang diduga melakukan penistaan agama menginap di Masjid Istiqlal. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok paham dan sadar atas pernyataannya yang menyinggung surat Al Maidah ketika melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu, 27 September 2016.

Ahli bahasa dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Andika Dutha Bachari menjelaskan, untuk mengartikan pernyataan Ahok yang dianggap menistakan agama, harus dimaknai secara esensial atau melihat hal pokoknya.

Kata dia, hal pokok dalam pernyataan Ahok ada dua. Pertama, Ahok menganggap ada pihak yang menggunakan surat Al Maidah untuk membohongi dan membodoh-bodohi orang. Kedua ialah surat Al Maidah-nya.

“Disana ada ciri esensial. Kata dibodoh-bodohi saja ‘feelnya’ sudah negatif. Dari pernyataan itu, Ahok merasa ada kategori negatif yang dilakukan umat Islam, yang menurut umat Islam adalah dakwah. Artinya di dalam batinnya, secara eksistensial, bahwa ada orng yang melakukan pembohongan dengan surat Al Maidah,” jelas Andika saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk ‘Layakkah Ahok di Penjara?’, di Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta, Jumat (11/10).

Dengan demikian menurutnya, kalimat ‘kalau bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan, dibohongin pakai surat Al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak ibu. Ya, jadi kalo bapak ibu merasa, ga milih nih karena saya takut neraka, dibodohin gitu ya nggak apa-apa,’, disampaikan Ahok secara sadar dan paham.

Selanjutnya, Andika coba menganalisa kesiapan Ahok untuk menyampaikan pernyataannya itu. Pendapat pakar linguistik ini, Ahok pun sudah siap dengan segala konsekuensi untuk mengatakan kalimat tersebut.

Kesimpulan itu dikorelasikan dengan sikap Ahok saat meminta maaf. “Tentang kesiapan, apakah Ahok siap? Sudah jelas. Seharusnya ketika ia menyatakan maaf, harusnya dia menganulir pernyataannya di Kepulauan Seribu,” terangnya.

Namun yang terjadi, Ahok hanya minta maaf dengan mengatakan bahwa maksud pernyataannya di Kepulauan Seribu tidak seperti yang diartikan sebagai penistaan agama.

Padahal, sambung Andika, pernyataan Ahok yang diartikan bahwa ada pihak yang membohongi dan membodoh-bodohi orang dengan surat Al Maidah sebagai alat sukar untuk dibuktikan.

Karena Andika menyakini, kalau pun ada pihak yang menggunakan surat Al Maidah sebagai alat untuk tidak memilih Ahok, pastinya disampaikan oleh umat Islam dan dalam suatu kegiatan yang hanya dihadiri oleh penganut agama Islam.

“Secara literal, bahwa isi pembicaraannya saja sulit untuk dipertanggungjawabkan,” pungkasnya.

Laporan: M Zhacky Kusumo

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby