Jakarta, Aktual.com — Pernyataan ahli bahasa polisi yang menyebut Yulian Paonganan alias Ongen melanggar UU Pornografi dan UU ITE terbantahkan oleh pakar semiotika dari Universitas Tadulako Palu, Ferry Rita.

Dalam pernyataannya, Ferry Rita menilai kasus ini sebaiknya tidak dilanjutkan, karena jika makin melebar dan jadi (malu) kita semua orang Indonesia. “Bukan hanya Ongen atau orang Sulawesi, tapi malu Indonesia juga,” ujar Ferry, Senin (18/4).

Ferry meminta hal tersebut setelah dirinya menganalisa dari sudut pandang semiotik. Secara simbolisasi, foto Nikita dan Jokowi tidak mengandung unsur porno, baik dari sisi unsur kinesik.

Karena dalam foto tersebut lanjut dia, sorotan mata biasa tidak ada lirikan mesra, gerakan tangan juga biasa, tidak ada raba-meraba, raut wajah sang artis tidak merona merah, gerakan tubuh normal tidak ada pelukan, atau rangkul-merangkul.

“Jadi tidak ada tanda-tanda atau fenomena yang dapat dikonotasikan bahwa mereka seperti orang lagi kasmaran, apalagi bersetubuh tidak terjadi.”

Kode responsorial yang dishare Ongen di Twitter kepada followersnya hanyalah suatu frase respon spontanitas semata-mata. Bahkan, di dalam kode-kode hastag Yulian Paonganan terdapat decak kagum dan simpatik.

Sementara dari sisi ikonisasi maka bisa ditarik ke paha. Menurutnya, itu sebuah validtas tanda. Ikon pada paha Nikita bertato tidak representative menimbulkan nafsu birahi. Bahkan sebaliknya, konteks kata ini memiliki nuansa pengertian semiosis yang jelas berbeda.

“Dalam pengertian ini terlalu gegabah untuk beranggapan bahwa‘Paha’ diakui sebagai sesuatu yang berhubungan dengan ‘nafsu’ yang sama, ketika melihat ‘mulus’ wanita, atau ketika melihat paha ayam yang ‘montok’ dan ‘gurih’.”

“Karena itu, ‘Paha’ tidak selalu dapat didefinisikan sebagai pembangkit ‘nafsu birahi’ atau ‘menerbitkan air liur’.”

Soal alat kelamin anak kecil, yang diunggah oleh Ongen menurut Ferry tidak masuk dalam kategori porno. “Jadi tuduhan itu dari sisi terminology semiosis terbantahkan.”

Dari sisi Indeks yang menghubungkan jarak tempat duduk, tidak ada keakraban. Karena jarak antara papa dan Nikita sekitar 10 – 15 Cm. Disitutidak ada keakraban, tidak ada kemesraan, apalagi yang untuk dikatakan bersetubuh.

Foto dan hastak itu konstruksinya tidak lengkap. Perlu direkonstruksi ulang sesuai keperluan makna yang dikehendaki oleh pemilik akun.

“Frase ungkapan itu perlu dibatasi (dihedging) yakni: Papa siapa? “Papa saya”, “papa Nikita”, atau orang lain; dan Paha yang mana? “Paha mulus”, “paha bertato”, atau “paha ayam”?. Sehingga dapat dipersepsi makna sesungguhnya dari si pengunggah asli.”

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu