Jakarta – Peradaban Islam, yang kekuatannya bertahan selama lebih dari seribu tahun dan kekuasaannya membentang dari ujung barat Afrika hingga India bahkan hingga Kepulauan Nusantara, seluruhnya berdiri di atas fondasi keimanan kepada Allah swt.

Kita dapat melihat dari catatan sejarah bahwa pendidikan pertama yang diberikan oleh Rasulullah saw kepada para sahabat adalah penanaman akidah yang benar. Selama dua belas tahun fase kenabian di Mekkah, Rasulullah fokus menanamkan keimanan kepada Allah swt dan menghapuskan berbagai kebiasaan buruk bangsa Arab pada masa itu seperti menyembah patung, berjudi, berzina.

Ayat-ayat al-Quran yang diturunkan pada masa ini lebih didominasi oleh perkara keimanan kepada Allah, surga dan neraka, dan berbagai kisah mengenai umat-umat terdahulu. Kita dapat melihatnya dalam surat-surat yang terdapat pada juz ke tiga puluh dari al-Quran, kita bisa melihat bahwa ayat-ayat yang terdapat dalam surat-surat itu relatif pendek, mudah dihafal, namun mengandung makna yang tegas.

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ (1) اللهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)

“Dialah Allah yang maha satu, yang menjadi tumpuan segala sesuatu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatupun yang setara dengannya.” (Al-Ikhlas/112: Ayat 1-4)

Lihatlah surat al-Ikhlas yang meski pendek namun bisa menggambarkan secara jelas dan tegas bahwa Allah sebagai satu-satunya tuhan yang maha berkuasa, berdiri sendiri, tidak membutuhkan bantuan siapapun, bahkan seluruh makhluk membutuhkan-Nya, butuh kasih sayang-Nya, butuh kepada rahmat-Nya.

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk menanamkan akidah dan keimanan yang sejati kepada Allah swt. dan meninggalkan berbagai macam sesembahan yang mereka buat sendiri.

Contoh lain adalah surat al-Qari’ah. Allah berfirman:

القَارِعَةُ (1) مَا القَارِعَةُ (2) وَمَا أَدْرَاكَ مَا القَارِعَةُ (3) يَوْمَ يَكُوْنُ النَّاسُ كَالفَرَاشِ المَبْثُوْثِ (4) وَتَكُوْنُ الجِبَالُ كَالعِهْنِ المَنْفُوْشِ (5) فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِيْنُهُ (6) فَهُوَ فِيْ عِيْشَةٍ رَاضِيَةٍ (7) وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِيْنُهُ (8) فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ (9) وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ (10) نَارٌ حَامِيَةٌ (11)

“Hari kiamat. Apakah hari kiamat itu? Apa yang kamu tahu tentang hari kiamat? Hari itu manusia seperti serangga yang berserakan (berlarian ke sana ke mari), dan gunung akan seperti bulu yang tercerai berai. Maka, siapa yang timbangan kebaikannya lebih berat maka ia akan berada dalam kehidupan yang menyenangkan, dan siapa yang timbangan kebaikannya lebih ringan maka ia tempat kembalinya adalah Hawiyah. Tahukah kamu apa itu Hawiyah? Itu adalah api yang sangat panas. (Al-Qari’ah/101: Ayat 1-11)

Lihatlah bagaimana Allah memberikan gambaran nyata mengenai suatu hari akhir yang begitu maha dahsyat yang aka dirasakan pada hari kiamat dengan sangat gamblang dan tegas. Lalu kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai dua golongan manusia yang kehidupannya ditentukan oleh berat timbangan amalnya dan menyatakan bahwa timbangan amalan yang ringan hanya akan mengantar kepada siksaan api neraka.

Dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa penanaman akidah dan keimanan kepada Allah adalah sebuah fondasi yang penting dalam pembangunan peradaban Islam. Hal itu sangatlah penting karena syariat Islam tidak akan benar-benar berjalan tanpa ada fondasi akidah yang kuat.

Kehidupan manusia, baik dalam skala kecil maupun besar, jika dibangun atas dasar keadilan, kejujuran dan tanggung jawab, maka akan dapat menghasilkan kebaikan dan dapat menghantarkan pada kemajuan. Dan Islam telah menjadikan keadilan, kejujuran, dan rasa tanggung jawab berkaitan erat dengan akidah.

Islam menghubungkan berbagai hal tersebut dengan kepercayaan kepada Allah bahwa segala yang dilakukan dalam kehidupan di dunia, baik yang berkaitan dengan pribadi maupun dengan kepentingan orang banyak, akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak. Kehidupan kita di sana akan ditentukan oleh sikap dan perilaku kita selama di dunia.

Kita semua telah mengerti hal ini. Secara fitrah, kita bisa mengenali dan memisahkan antara kebaikan dan keburukan. Kita tahu bahwa jujur itu baik dan berbohong itu tidak baik, kita paham bahwa bersikap amanah itu wajib dan berkhianat itu tidak boleh, bahkan kita semua sudah mengerti bahwa segala gerak gerik kita akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Namun kenapa hal-hal buruk itu terkadang masih kita lakukan? Jawabannya, mari kita lihat jauh pada diri kita, sejauh mana tingkatan keimanan kita kepada Allah swt. Semoga Bermanfaat.

(Penulis: Fahmi Hasan)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid