Ombudsman Temukan Banyak Buruh Kasar di Indonesia
Hasil investigasi yang dilakukan Ombudsman mengungkapkan banyak TKA jabatan rendah, tanpa keahlian (buruh kasar) yang bekerja di wilayah Indonesia seperti DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, dan Papua Barat.
Investigasi dilakukan pada Juni-Desember 2017 menemukan beberapa permasalahan seperti TKA yang secara aktif bekerja namun masa berlaku Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA) telah habis dan tidak diperpanjang, perusahaan pemberi kerja kepada TKA yang tidak dapat dipastikan keberadaannya, TKA yang bekerja sebagai buruh kasar, dan TKA yang telah menjadi WNI namun tidak memiliki izin kerja.
“TKA dari Tiongkok setiap hari masuk ke Indonesia. Sebagian besar unskilled labour, tidak bisa dikonfirmasi, tidak ada pengawasan tentang status visa mereka,” kata anggota Ombudsman RI Bidang Pengawasan Sumber Daya Alam, Tenaga Kerja dan Kepegawaian, Laode Ida.
TKA buruh kasar salah satunya banyak ditemukan di Morowali, Sulawesi Tengah. Bahkan fakta di lapangan ada 90% TKA menggunakan topi kuning yang biasa digunakan pekerja di level bawah. Hanya 10% sisanya menggunakan topi merah dan topi hijau untuk jabatan supervisor dan manajemen.
“Ada sekitar 200 orang sopir angkutan barang di perusahaan (Morowali) adalah TKA,” katanya.
Jumlah TKA berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan tahun lalu mencapai 126 ribu orang, meningkat 69,85 persen dibanding 2016 sebanyak 74.813 orang. Namun jumlah TKA yang di lapangan masih lebih banyak lagi dari data yang diberikan oleh Kementerian Tenaga Kerja.
“Pada salah satu pabrik semen di Papua, Monokwari tahun lalu hampir 100 persen diisi oleh tenaga kerja asing. Datanya jauh berbeda di pemerintah,” kata dia.
Data Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gresik per Oktober 2017 yang diolah Ombudsman menunjukkan bahwa ada enam perusahaan yang menggunakan TKA yang masa berlakunya habis atau tidak diperpanjang, namun tetap bekerja di Indonesia. Enam perusahaan, tersebut yakni PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Bahagia Steel, PT Wuhuan Engineering Co. Ltd, PT The Sixth Chemical Engineering Construction, PT China Eleventh Chemical Construction, dan PT Huaxing Chemical Engineering.
“Banyak juga TKA yang jadi buruh kasar, TKA telah jadi WNI tapi tidak punya izin kerja. Juga ada yang perusahaan pemberi kerja tidak dapat dipastikan keberadaannya,” ungkapnya.
Alasan pemerintah untuk mempermudah izin TKA ternyata berbanding terbalik dengan rasio investasi Tiongkok. Berdasarkan data BKPM pada September 2016, Tiongkok menempati peringkat ketiga dengan nilai USD1,6 triliun. Sementara, data Kemenaker tahun 2016 jumlah tenaga kerja asal Tiongkok menempati posisi pertama yang masuk ke Indonesia sebesar 21.271.
“Investasi Tiongkok itu urutan ketiga, tapi TKA-nya urutan pertama. Padahal Singapura investasinya menempati posisi pertama,” kata Laode.
Sementara dari sisi pengawasan, tim pengawasan orang asing (tim pora) terhadap TKA belum maksimal. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan belum maksimalnya pengawasan oleh tim pora yakni ketidaktegasan tim pora terhadap pelanggaran di lapangan, keterbatasan jumlah anggota tim pora dan lemahnya koordinasi antarinstansi, baik di pusat maupun daerah.
Berbagai masalah tersebut antara lain disebabkan lemahnya regulasi yang ada terkait tenaga kerja asing. Salah satu yang menjadi pemicu karena dihapuskannya kewajiban menggunakan bahasa Indonesia, rasio pemekerjaan tenaga kerja asing terhadap TKI, dan kepastian ahli teknologi kepada TKI pendamping dalam Permenaker Nomor 35 Tahun 2015.
Selanjutnya, Reaksi Wakil Rakyat
Artikel ini ditulis oleh:
Eka