ilustrasi anti demokrasi (istimewa)

Jakarta, Aktual.com – Otoritarian seperti yang terjadi pada pemerintahan orde baru (orba) di era Soeharto sangat kejam sehingga bangsa Indonesia jangan pernah kembali ke masa tersebut. Maka, era demokrasi yang diperjuangkan gerakan 98 harus terus dijaga agar tetap dalam koridor.

“Otoriter itu kejam, jangan kita kembali ke masa-masa itu. Ini pesan saya di usia lanjut, tolong pertahankan demokrasi, konsolidasikan demokrasi, canangkan dengan baik, jangan kebelinger,” kata Jimmy Siahaan, aktivis 77 dan 78, dalam diskusi bertema “Gerakan Mahasiswa dari Masa ke Masa” di Jakarta, Rabu petang (2/4).

Aktivis era 80, Fadjroel Rachman yang juga menjadi pembicara dalam diskusi ini, menyampaikan, saat ini banyak rongrongan terhadap Republik Indonesia, serta empat pilar utamanya, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.

Karena itu, kata Fadjroel, langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Undang-Undang Organsisasi Kemasyarakat (UU Ormas) dinilai sudah tepat.

Fadjroel menyampaikan, jangan sampai Indonesia seperti Jerman, bahwa tumbuhnya Nazi akhirnya membubarkan demokrasi. Menurut Fadjroel Hizbrut Tahrir Indonesia anti demokrasi.

“Jadi melalui demokrasi mereka [Nazi] bubarkan demokrasi. HTI juga kan antidemokrasi,” katanya.

Fadjroel menambahkan, kita harus mempertahankan Republik Indonesia, ideologi Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika. “Kan [HTI] kelihatan anti-ideologinya, anti-Pancasilanya. Anti-UU 45, kelihatan dan itu bertahun-tahun kita dapat informasi, kelihatan sekali kok, bahkan kita bisa baca di website-nya. Maka tindakannya harus jelas, tidak boleh ragu-ragu,” katanya.

Fadjroel juga meyampaikan, bahwa Soeharto dan Orbaisme ini belum tuntas sepenuhnya hal ini bisa dilihat dari upaya melanggengkan “keagungan” Soeharto tulisan di truk “Piye Kabare, Enak Zamanku Toh? hingga munculnya beberapa partai dari lingkungan Cendana.

“Jadi ideologi itu 20 tahun masih cengkaram, ditambah lagi dengan ideologi yang dari luar atau transnasional dengan beragam isunya, ada yang khilafah dan sebagainya,” kata dia.

Diskusi yang digelar PENA 98 ini juga menghadirkan pembicara lainnya, aktivis dari Universitas Airlangga Surabaya I Gusti Agung Putri, Aktivis Forkot Reinhard Parapat, Aktivis Lintas Generasi (Tali Geni) Jeppri F Silalahi, Ketua Jambore Mahasiswa se-Indonesia Septian Prasetyo, dan Ketua Konsolidasi Nasional Mahasiswa Indonesia (Konami) Jati Pramestianto.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby