Jakarta, Aktual.com — Alasan keterbatasan dana dan hak diskresi yang digunakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk memungut anggaran kontribusi tambahan dari beberapa pengembang reklamasi pantai utara Jakarta dinilai tidak masuk akal.

Sebab, Pemerintah Provinsi DKI baru saja dianugerahi penghargaan sebagai daerah dengan penyerapan anggaran APBD-nya paling besar.

“Bagaimana anggaran APBD Jakarta bisa dikatakan terbatas, sehingga dijadikan alasan meminta kontribusi 15 persen? Padahal anggaran yang ada dalam APBD saja penyerapannya sekitar 70-80 persen setiap tahunya. Artinya, dana yang ada saja tidak digunakan secara baik, sehingga banyak sisa,” ketus Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan, di Jakarta, Senin (23/5).

Tak hanya itu, Tigor pun menyinggung soal persentase kontribusi tambahan pengembang reklamasi, yang dianggap Ahok sudah besar. Tigor justru menganggap persentase 15 itu kecil, dan hanya akal-akalan.

“Apa kita pikir kontribusi 15 persen seperti kata Ahok itu sudah besar? Coba bandingkan dengan kerugian akibat proyek reklamasi pulau palsu itu sendiri. Berapalah kontribusi 15 persen, dibandingkan keuntungan luar biasa yang akan didapat para pengembang,” papar Tigor.

Kemarin, Ahok memaparkan soal penggunaan hak diskresi untuk meminta pengembang reklamasi membayar kontribusi tambahan mereka. Dia juga mengatakan kalau hak diskresi itu sengaja dia gunakan, lantaran Pemprov DKI memiliki anggaran yang terbatas.

Maka dari itu, dipakailah hak diskresi untuk meminta uang ratusan miliar dari pengembang. Kata dia, dana itu nantinya akan digunakan untuk mendanai sejumlah proyek infrastruktur.

“Kalau nggak (dari kontribusi tambahan), kamu bangun tanggul puluhan triliun dari mana? Sekarang, Jakarta saja uangnya itu buat trotoar bisa 25 tahun baru beres,” kata Ahok, di Kebon Jeruk, Jakarta, Minggu (22/5).

Terkait pembayaran dimuka kontribusi tambahan pengembang reklamasi, tengah ditelusuri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Yang ditelisik adalah landasan hukum permintaan yang dituangkan dalam sebuah perjanjian antara Pemprov DKI dengan empat pengembang reklamasi pada 18 Maret 2014.

Ahok pun awalnya mengatakan, kalau perjanjian yang dia sebut sebagai ‘perjanjian preman’ itu berlandaskan pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995. Namun, belakangan dia beralasan kalau perjanjian itu dibuat dengan menggunakan hak diskresi sebagai Kepala Daerah.

Namun, kalau kita baca dengan seksama Keppres Nomor 52 itu, tidak ada satu pun Pasal yang mengatur tentang kontribusi tambahan, apalagi soal mekanismenya. Begitu pula dengan penggunaan hak diskresi. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 yang mengatur tentang hak diskresi juga dibuat jauh setelah ‘perjanjian preman’ itu disepakati.

Ketua KPK Agus Rahardjo pun sudah angkat bicara mengenai alasan hak diskresi ini. Diakui dia, penggunaan hak diskresi juga tidak boleh sembarangan.

“Kan diskresi juga ada rambu-rambunya. Kalau tidak ada peraturannya ada tanda tanya besar dong. Peraturannya mestinya disiapkan dulu,” tegas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, saat diminta menanggapi pernyataan Ahok, di kantornya, Jakarta, Jumat (20/5).

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby