Jakarta, Aktual.com – Bank Indonesia (BI) terus mendorong bank-bank syariah untuk melakukan hedging atau lindung nilai syariah, mengingat transaksi valuta asing (valas) di perbankan syariah kian tinggi dalam beberapa tahun belakangan ini. Seperti transaksi dana haji dan umroh.

Pasalnya, salah satu upaya untuk mitigasi risiko nilai tukar tersebut adalah melalui transaksi hedging sesuai prinsip syariah.

“Hedging syariah ini diharapkan dapat menjadi stimulus perkembangan industri keuangan syariah Indonesia ke depannya,” ujar Deputi Gubernur, Hendar di Gedung BI, Jakarta, Jumat (17/6).

Dalam konteks ini, BI sendiri sudah menerbitkan Peraturan BI (PBI) No. 18/2/2016 tentang Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah pada tanggal 26 Februari 2016 lalu. Dan kemudian diterbitkan Surat Edaran (SE) ekstern BI terkait repo syariah No. 18/11/DEKS tanggal 12 Mei 2016 sebagai petunjuk teknis pelaksanaan PBI dimaksud.

Menurut Hendar, PBI ini tak lepas dari fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Transaksi Lindung Nilai Syariah atas Nilai Tukar. Memang perjalanan munculnya instrumen hedging syariah ini cukup panjang. Pada tahun 2012, instrumen ini pertama kali diusulkan oleh BI.

Akhirnya, pada periode 2012-2015, usulan tersebut dibahas bersama Working Group Perbankan Syariah dan Dewan Syariah Nasional, MUI. Dan akhirnya pada tanggal 2 April 2015, fatwa atas Transaksi Lindung Nilai Syariah atas Nilai Tukar diterbitkan MUI.

Bagi BI, dari sisi korporasi maupun nasabah perorangan, khususnya yang memiliki preferensi produk yang memenuhi prinsip syariah, hedging syariah menjadi solusi dalam mitigasi risiko nilai tukar.

Sedangkan dari sisi perbankan, kata Hendar, dengan memiliki instrumen ini akan membantu dalam pengelolaan risiko likuiditas dan risiko nilai tukar. “Hedging syariah juga diharapkan akan mendukung pendalaman pasar keuangan syariah Indonesia, sehingga mendorong penerbitan sukuk valas di masa mendatang,” ujarnya.

Pada akhirnya, lanjut dia, pembiayaan syariah juga diharapkan dapat meningkat khususnya pada sektor-sektor produktif maupun proyek infrastruktur yan sedang digalakkan pemerintah.

Lebih jauh Hendar menegaskan, hedging syariah memiliki karakteristik yang unik. Pertama, hedging syariah tidak boleh dilakukan untuk tujuan yang bersifat spekulatif, sehingga wajib memiliki underlying.

Kedua, transaksi ini hanya boleh dilakukan apabila terdapat kebutuhan nyata untuk mengurangi risiko nilai tukar di masa mendatang terhadap mata uang asing yang tidak dapat dihindarkan.

Dan terakhir, adanya penggunaan akad muwa’adah. Akad ini mengatur bahwa transaksi lindung nilai syariah akan didahului oleh forward agreement atau rangkaian forward agreement untuk melakukan transaksi spot dalam jumlah tertentu di masa yang akan datang dengan nilai tukar atau perhitungan nilai tukar yang disepakati pada saat saling berjanji.

“Untuk itu BI akan tetap menjaga ketersediaan instrumen pasar valas yang sesuai dengan prinsip syariah. Juga BI akan mendukung tersedianya operasi moneter syariah untuk pengelolaan likuiditas valas,” pungkas Hendar.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka