Jakarta, Aktual.com – Pemerintahan Joko Widodo saat ini sudah terbebani dengan banyak utang karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sendiri terus mengalami defisit.

Apalagi kemudian, dengan kondisi APBN sendiri yang tak sehat, membuat pemerintah harus membuat kebijakan untuk membayar bunga utang dengan melakukan utang baru.

Hal itu disebutkan oleh pengamat ekonomi politik dari UGM, Revrisond Baswir, saat diskusi yang digelar GMNI, di Jakarta, kemarin, ditulis Jumat (7/10).

“Jadi kondisi saat ini, sampai-sampai Indonesia sendiri mau bayar bunga utang pakai utang baru. Bukan lagi bayar pokoknya, tapi bunganya saja dibayar dengan membuat utang baru,” cetus dia.

Menurutnya kondisi itu terjadi dengan APBN yang dikelola pemerintah pusat, selama lima tahun belakangan ini.

“Jadi di saat pemerintah banyak mengeluarkan kebijakan stimulus, berdampak kepada keseimbangan primer kita. Dan sejak 2012 lalu sudah mulai defisit,” ungkapnya.

Kondisi keseimbangan primer APBN ini terus terjadi bertahun-tahun. Dari APBN 2012, 2013, 2014, 2015, dan sampai di tahun 2016 ini.

Kata dia, dengan kebijakan pemerintah yang melakukan utang baru untuk membayar bunga utang, jika dianalogikan ke dunia perbankan, maka seorang debitur seperti itu statusnya sudah downgrade.

“Jadi republik ini di bawah pemerintah Jokowi sudah downgrade. Mengenaskan sekali,” ungkap Revrisond.

Dengan kondosi fiskal saat ini yang tak sehat, pemerintah pun berharap terhadap sektor moneter. Cuma sayangnya harapan ini kandas di tengan jalan jika melihat sistem perbankan saat ini.

“Sekarang postur APBN sudah banyak dihabiskan untuk biaya rutin, yaitu pembayaran gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mestinya untuk pembangunan ekonominya bisa mengandalkan perbankan,” jelas dia.

Bisa untuk membangun proyek infrastruktur atau pun mengembangkan sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Sehingga dunia perbankan mau membiayai sektor-sektor itu.

Selama ini, diprediksi dana yanga dikelola oleh dunia perbankan mencapai Rp4.000-an triliun. Dengan banyaknya dana seperti itu, bank sendiri yang menentukan kredit itu mau dibawa kemana. Cuma, jika sistem perbankan tak berubah jangan banyak berharap.

“Jika mereka (perbankan) masih dikuasai oleh kapitalisme keuangan. Jangan berharap bank mau menyalurkan kredit ke UMKM,” tegasnya.

Padahal, berdasar UU Perbankan, bank sendiri diminta untuk penyaluran kreditnya sebanyak 20 persen untuk sektor UMKM. Tapi kenyataannya tidak terjadi.

“Karena kekayaan sudah terkonsentrasi di atas dan banknya juga sudah tidak bisa lagi sepenuhnya dikendalikan,” ujar dia.

Kondisi pelik terkait anggaran di APBN yang dihadapi pemerintah ini, menurutnya, masih akan terus terjadi. Seperti kemarin, sekalipun ganti Menteri Keuangan tetap saja dilakukan pemotongan anggaran.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka