Indonesia sempat masuk daftar negara dengan penanganan yang buruk terkait pencucian uang pada 2012 oleh organisasi internasional anti pencucian uang, Financial Action Task Force (FATF). Meskipun sudah bebas dari predikat itu, namun hingga kini Indonesia masih belum menjadi anggota dari FATF.
Berdasarkan laporan Global Financial Integrity tahun 2014, Indonesia menempati urutan ke-7 dari 10 negara besar dengan aliran uang haram atau illicit financial flow (IFF) terbesar di dunia. Dalam periode 2003-2012, IFF yang mengalir di Indonesia mencapai 187.884 juta dollar AS atau Rp 2.442 triliun (saat itu dikurs Rp 13.000 per dollar AS). Jika dirata-rata, aliran uang haram yang mengalir di tanah air per tahunnya sebesar Rp 244,20 triliun.
Angka ini sendiri masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan target tax amnesty oleh pemerintah pada beberapa waktu lalu, yaitu Rp 165 triliun. Program ini sendiri hanya dapat menyasar Rp 105 triliun, atau hanya 63,63% dari target awal.
Dengan demikian, Yustinus menegaskan bahwa potensi dari uang yang dapat ditarik oleh pemerintah dari aliran haram ini sebesar Rp 80 triliun per tahunnya. Potensi ini disebutnya berdasar hitung-hitungan setelah dikenai Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 30% dan Pajak Pendapatan (PPn) sebesar 10%.
“Kalau kita menggunakan angka Rp 200 triliun pertahun, dan kalau itu obyek pajak setidaknya ada PPh ada 30%, itu Rp 60 triliun. Lalu kalau PPn itu 10%, Rp 20 triliun, berarti kan Rp 80 triliun per tahun,” paparnya.
“Itu kurang lebihnya yang bisa kita dapat kalau kita bisa menangkal hal itu dengan aturan ini. Kalau diperkuat sistemnya saya kira akan lebih banyak,” terang Yustinus menambahkan.
Hanya saja, Yustinus berpendapat, bahwa Perpres BO memiliki satu kelemahan jika memang ingin digunakan untuk menarik dana gelap, yakni aturan ini hanya dapat digunakan untuk mengatur dalam skala domestik.
Sementara, lanjutnya, masih banyak taipan Indonesia yang memiliki uang di luar negeri.
“Jadi problemnya kan cross border nih, antar negara, nah aturannya tidak bisa menjangkau itu. Maka sebenarnya PPATK atau Perpres Bo ini bisa mengajak Dirjen Pajak bekerja sama karena kelemahannya di situ,” ungkapnya.
Namun menurut berita yang dilansir dari Reuters, Rabu (7/3) lalu, langkah yang diambil pemerintah dalam keluarnya Perpres 18/2018 ini bertepatan dengan usaha Indonesia untuk bergabung dengan organisasi internasional anti pencucian uang, FATF.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby
















