Jakarta, Aktual.com — Momentum peringatan Hari Ibu 22 Desember 2015 memiliki makna yang dalam bagi bangsa Indonesia khususnya generasi muda untuk mengenang perjuangan kaum perempuan yang tidak terpisahkan dari kebangkitan perjuangan bangsa dalam meraih kemerdekaan.

Saat itu di tengah suasana Kongres Pemuda Indonesia 1928, para perempuan pejuang pergerakan kemerdekaan pada 22-25 Desember 1928 memprakarsai penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama kali di Yogyakarta, yang akhirnya membentuk organisasi Federasi yang mandiri dengan nama Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI).

Melalui PPPI tersebut terjalin kesatuan semangat juang kaum perempuan untuk secara bersama-sama kaum laki-laki berjuang meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, dan berjuang bersama-sama kaum perempuan untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan Indonesia menjadi perempuan yang maju.

Selanjutnya pada 1938, Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung menyatakan bahwa tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu.

Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional Bukan Hari Libur, menetapkan bahwa Hari Ibu tanggal 22 Desember merupakan Hari Nasional dan Bukan Hari Libur.

Peringatan Hari Ibu ke-87 pada 22 Desember 2015 mengambil tema “Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki dalam Mewujudkan Lingkungan yang Kondusif untuk Perlindungan Perempuan dan Anak”.

Terkait dengan itu, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa memaknai Hari Ibu 2015 dengan mengajak seluruh perempuan Indonesia untuk menyatukan tekad memajukan negeri.

“Hari Ibu ini kita maknai bagaimana perempuan Indonesia bersatu maju membangun negeri,” kata Mensos.

Lebih lanjut Khofifah menyampaikan, rasa syukur karena dalam proses demokrasi langsung pelaksanaan Pilkada Serentak 9 Desember 2015 dapat dilihat perolehan suara dari calon kepala daerah perempuan cukup siginifikan.

“Artinya ini menjadi penguatan peran perempuan untuk menjadi pengambil keputusan menjadi pintu masuk di berbagai lini terutama untuk penurunan kemiskinan perempuan,” kata ia.

Namun di sisi lain, dia prihatin dengan tingginya angka perceraian terutama cerai gugat yang tembus hingga 75 persen karena biasanya yang menjadi korban adalah anak-anak mereka.

“Untuk itu, harus menjadi satu kesatuan upaya mengajak perempuan maju membangun negeri antara lain menghindarkan melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan,” katanya.

Peran Perempuan Isu kesetaraan gender sering kali disuarakan oleh para aktivis sosial, kaum perempuan hingga para politikus negeri ini. Kesadaran kaum perempuan akan kesetaraan gender semakin meningkat seiring dengan tuntutan hak yang sama dengan laki-laki.

Pada acara tatap muka pelaku sejarah, tokoh perempuan, dan pimpinan organisasi perempuan dalam menggapai cita-cita menuju kesetaraan gender di Jakarta, beberapa waktu lalu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas mengajak kaum ibu untuk bersatu dan bekerja sama demi kemajuan perempuan Indonesia.

Ketua Presidium Nasional Kaukus Perempuan Parlemen itu mengatakan, kesetaraan gender menurut perkiraan dia masih membutuhkan waktu lama untuk terwujud di Indonesia karena RUU tentang pelecehan perempuan dan anak belum juga dibahas oleh DPR.

“Semoga tahun ini DPR bisa membahas UU pelecehan perempuan dan anak dan semoga masuk di Prolegnas 2016 karena ini sudah sangat mendesak,” katanya.

Menurut dia, masih banyak hal-hal yang belum sepenuhnya memenuhi kesetaraan gender meski di beberapa daerah hak-hak perempuan cukup berkembang termasuk dengan telah dicabutnya 138 perda yang dinilai diskriminatif terhadap perempuan.

Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Giwo Rubianto Wiyogo, mengatakan dalam masa perjuangan bangsa, perempuan sudah menggalang persatuan dan kesatuan untuk kemerdekaan Indonesia.

“Perjuangan kaum perempuan di Tanah Air itu dibuktikan melalui pembentukan Kowani pada 22 Desember 1928. Jadi Hari Ibu yang diperingati oleh kita setiap tanggal 22 Desember bukan sekadar Hari Ibu seperti yang terjadi di Barat, tetapi sejarah hari ibu merupakan sejarah besar. Episode penting sejarah Indonesia,” katanya.

Perempuan, katanya, juga harus bersatu dan menjadi satu kesatuan dalam mengisi kemerdekaan.

Perempuan harus menjadi penanam moral yang baik untuk meredam, menyaring dan memelihara dari hal-hal negatif seperti korupsi. “Korupsi merupakan masalah moral, bukti penyimpangan moral dan etika,” ujarnya.

Turunkan AKI Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berperan serta dalam upaya menekan angka kematian ibu (AKI) dan perkawinan usia dini.

“Masyarakat Indonesia perlu terus memperjuangkan upaya menekan angka kematian ibu dan perkawinan di usia dini, sesuai amanat kaum ibu pendiri bangsa pada Kongres Perempuan Indonesia,” kata Yohana Yembise.

Yohana menjelaskan, Angka Kematian Ibu di Indonesia masih relatif sangat tinggi.

“Kami mengajak semua pihak baik pemerintah, masyarakat, organisasi perempuan, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, dunia usaha dan laki-laki sebagai suami untuk menekan Angka Kematian Ibu dan Bayi,” katanya.

Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, tercatat mempunyai AKI 359 orang per 100.000 kelahiran hidup.

Angka itu diperkirakan belum menurun sampai 2015 sehingga angka itu mendekati AKI di tahun 1997 yang tercatat 334 orang per 100.000 kelahiran hidup.

Direktur Kesehatan Ibu Kemenkes Dr Gita Maya Koemara Sakti MHA mengungkapkan jumlah angka ibu yang meninggal saat persalinan pada 2014 mencapai 17.000 orang.

Menurut dia, faktor AKI yang tinggi bukan hanya masalah kesehatan tetapi juga masalah pendidikan kesehatan reproduksi, usia menikah, pergaulan bebas remaja, sarana perhubungan menuju tempat persalinan, sarana angkutan, sarana air bersih dan listrik di tempat pelayanan kesehatan, ketersediaan darah, dan kesadaran semua pihak untuk memprioritaskan kondisi ibu hamil.

Artikel ini ditulis oleh: