Malang, Aktual.co — Rencana Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) untuk merekrut profesor asing ke Indonesia, ternyata membuat beberapa dosen perguruan tinggi di kota Malang resah. Mereka khawatir kehilangan lapangan pekerjaan jika hal ini terjadi.

Menurut salah satu pengajar di perguruan tinggi negeri Malang, keinginan Menristek dan Dikti ini terbilang aneh. Lantaran tenaga kerja di Indonesia sangat berlimpah. Bahkan, cenderung tidak disalurkan dengan baik.

“Banyak yang mendaftar, tetapi banyak perguruan tinggi yang tidak bisa menampung karena memang jatahnya dari pemerintah terbatas,” kata salah satu dosen yang enggan namanya disebut ini.

Bahkan, para calon dosen yang hendak mendaftar, memiliki kualitas dan syarat yang sangat mumpuni, kendati mereka tidak bisa diterima karena jatah dari pemerintah sangat terbatas.

Menanggapi hal ini, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, Dr Muhadjir Effendy juga khawatir dengan rencana tersebut. Ia meminta Kemenristek dan Dikti harus berhati-hati, dan jangan asal pilih professor.

“Jangan sampai Indonesia menjadi tujuan wisata Guru Besar,” Kata Muhadir, Minggu (30/11) di kota Malang, Jawa Timur.

Wisata Guru Besar yang ia maksud ini adalah guru besar yang sudah tidak produktif malah ditampung oleh Indonesia. Pendapat ini juga dikuatkan dengan pernyataan Menristek dan Dikti, M Nasir yang mencari Guru Besar dari Universitas luar negeri yang over kuota.

Muhadjir menambahkan, para Guru Besar asing yang datang ke Indonesia, baik itu yang memberikan materi seminar, kolaborasi penelitian dengan Indonesia tidak selamanya hebat. Bahkan, dosen Indonesia seringkali lebih hebat dibandingkan professor dari mancanegara.

Berbeda dengan pendapat tiga Rektor perguruan tinggi negeri, yakni Universitas Brawijaya, Prof Dr M Bisri MS; Prof Dr Achmad Rofi’udin Spd Msi (rektor Universitas Negeri Malang); dan Prof Dr Mudjia Rahadrjo (Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang). Mereka justru setuju dengan usulan Kemenristek Dikti tersebut.

“Di Jepang, orang Indonesia sudah ada yang menjadi professor di perguruan tinggi di sana. Ini adalah hal yang biasa, hanya kita saja yang belum melakukannya,” kata Rofi’udin.

Senada dengan pernyatan Bisri dan Mudjia. Mereka sepakat bahwa persoalan ini dianggap hal biasa dalam bidang keilmuan. “Saya pikir ini tidak masalah karena pengajar kita akan semakin memiliki daya saing,” ujar Mudjia.

Namun demikian, Bisri juga memberikan catatan kalau ketersediaan professor asing juga disyarakatkan untuk mendapatkan akreditasi internasional. “Jumlah professor kita yang menjadi visiting lecturer di perguruan tinggi asing juga dihitung, begitu juga sebaliknya,” tandas Bisri.

Artikel ini ditulis oleh: