Ribuan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi long march menuju Istana Merdeka, Jakarta, Senin (6/2/2017). Dalam aksinya ribuan buruh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak keberadaan Tenaga Kerja Asing (TKA) China Ilegal. AKTUAL/Munzir
Ribuan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi didepan Istana Merdeka, Jakarta, Senin (6/2/2017). Dalam aksinya ribuan buruh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak keberadaan Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China Ilegal. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Pertemuan antara perwakilan buruh dengan Mahkamah Agung (MA) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan tidak menghasilkan kesepakatan. Hasil pertemuan ini pun disebut mengecewakan kaum buruh.

Salah satu perwakilan buruh yang ikut pertemuan, Dadang Cahyadi, mengatakan, pihak MA menyatakan adanya hambatan administrasi dalam memenuhi tuntutan buruh. Hambatan administrasi ini berkaitan mengenai masih adanya pihak yang melakukan Judicial Review mengenai UU Nomor 13 Tahun 2003 di Mahkamah Konstitusi.

“Secara normatif hukum, kalau UU 13/2003 di MK-kan, kita enggak bisa diputuskan di MA, katanya begitu,” ujar Dadang kepada Aktual di Jalan Merdeka Utara, Jakarta, Senin (6/2).

Menurutnya, PP 78 sudah sangat jelas mendzalimi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerhaan. Karenanya kaum buruh mempertanyakan sikap MA yang masih membahas dan berkutat pada hal-hal yang sifatnya administratif

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, Mira Sumirat, menambahkan, dalam pertemuan itu pihak Kemendagri hanya menampung dan menghimpun aspirasi masyarakat mengenai Surat Edaran Mendagri tentang PP Nomor 78/2015.

Surat Edaran ini sendiri menginstruksikan kepada seluruh kepala daerah untuk memutuskan UMP/UMK berdasar pada PP Nomor 78/2015. Salah satu pokok dalam PP ini yang dinilai merugikan buruh adalah menghilangkan peran buruh dalam penetapan UMK/UMP.

Selain itu, dasar penetapan UMP/UMK saat ini berubah berdasarkan kenaikan inflasi dan perkembangan ekonomi.

“Bayangkan saja, naik berdasarkan inflasi, rata-rata Rp 200 ribu per bulan. Sedangkan harga kebutuhan bahan pokok naiknya di atas Rp 300 ribu, kan minus, tambah miskin,” terang Sumirat.

(Teuku Wildan)

Artikel ini ditulis oleh: